Ketika Cak Nur Nyapres

Kira-kira 2 tahun sebelum wafat (2003), Intelektual Muslim terkemuka, Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah berkeliling Indonesia untuk mempromosikan dirinya sebagai calon presiden pada perhelatan Pilpres 2004. Dengan menggunakan label gerakan “Jalan Lurus”, Cak Nur menawarkan banyak gagasan untuk Indonesia yang lebih moderen dan beradab.

Cak Nur memang dikenal sebagai tokoh yang menjunjung tinggi keadaban dan kemoderenan di dalam berpikir. Letupan-letupan pemikiran Cak Nur tentang ide keislaman moderen menghentakkan kesadaran para elit dan umat untuk mampu mengkontekstualisasikan ide-ide keislaman yang selalu senafas dengan perkembangan.

Gagasan-gagasan Cak Nur memang kerap mengundang kontroversi. Namun Cak Nur punya argumentasi yang kuat untuk menjawab perlawanan dari pihak-pihak yang menolak tawaran pemikirannya. Sehingga kendatipun penolakan terhadap pemikiran Cak Nur diberi legitimasi pelabelan “kafir” terhadap dirinya, hipotesis-hipotesis Cak Nur tentang pemikiran Islam moderen terbukti sangat dibutuhkan.

Gagasan-gagasan politik Cak Nur sebagian besar dituangkan di dalam bukunya yang berjudul “Cita-cita Politik Islam Era Reformasi”. Di dalam buku itu, Cak Nur bukan saja membuat kaleidoskop tentang relasi kebersamaan Islam dengan Negara, tapi juga tentang bagaimana agama mampu menjawab tantangan bernegara ke depan.

Buku yang ditulis pada tahun 1999 itu, menjadi semacam koreksi terhadap tulisan Dr. Anwar Harjono yang terbit pada tahun yang sama. Anwar Harjono yang diketahui sebagai mantan jubir Partai Masyumi era 1950-an, menulis ” Perjalanan Politik Bangsa: Menengok Masa Lalu; Menatap Masa Depan”.

Baca Juga : KH. Hamid Dimyathie Termas (?-1948) Kiai Pejuang NKRI

Di dalam buku itu, Anwar Harjono mengingatkan kembali komitmen tidak tertulis Presiden Soekarno terhadap umat Islam (elit-elit umat Islam) untuk memposisikan Islam beriringan dengan Negara. Namun, buku yang ditulis Anwar Harjono itu seperti “kosong” dari tawaran masa depan, khususnya ketika berbicara tentang formasi Islam di tengah menguatnya gelombang ketiga demokratisasi.

Cak Nur paham betul bahwa gagasan yang ditulisnya hanya akan sekedar menjadi wacana di ruang diskusi pasca sarjana atau forum KKA (Klub Kajian Agama) Paramadina, jika tidak dituangkan ke dalam kerangka aksi.

Di sisi lain, Cak Nur juga melihat kecenderungan money politics yang sangat kuat memasuki masa pemilu dan pilpres 2004. Bersama-sama dengan dr. Sulastomo, yang merupakan seniornya di PB HMI, dan beberapa tokoh, Cak Nur mengasas pendirian Gerakan Jalan Lurus.

Gerakan ini bertujuan menyelamatkan komitmen reformasi dari kecenderungan politik yang lebih rusak daripada Orde Baru. Cak Nur berpendapat bahwa dibentuknya KPK melalui UU Pemberantasan Korupsi tahun 2003, seharusnya dapat menjamin pelaksanaan demokrasi yang benar-benar tulus dan konsekuen.

Untuk membuktikan bahwa money politics belum masuk hingga struktur yang lebih rendah dari pemerintah, Cak Nur mencoba berkeliling dari satu partai ke partai lain. Media televisi dan cetak meliput kunjungan Cak Nur ke beberapa partai politik. Di dalam kunjungannya itu Cak Nur memaparkan visinya untuk maju ke dalam perhelatan Pilpres 2004.

Baca Juga : KH. Abdul Mannan Dipomenggolo (?-1862) Muassis Termas

Cak Nur sadar bahwa ia bukanlah figur yang disukai para pemodal yang mengharapkan untung besar dari perhelatan pilpres. Tapi Cak Nur juga yakin, bahwa di Republik ini masih banyak orang yang berpikir dan menimbang dengan hati nurani.

Cak Nur punya prasangka baik bahwa sebagian besar orang Indonesia merindukan pemilihan presiden yang benar-benar bersih dari manipulasi, jujur dan transaparan.

Syahdan tersiar kabar bahwa Partai Golkar akan mengadakan konvensi untuk bacapres yang akan diusung pada Pilpres 2004. Cak Nur pun menjumpai Akbar Tanjung, juniornya di PB HMI, yang waktu itu memegang jabatan Ketua Umum Partai Golkar.

Kabar akan diadakannya Konvensi itu menjadi berita baik bagi Cak Nur. Ia menganggap bahwa perjuangannya berkeliling menemui partai-partai akan sia-sia jika tidak ada satu kendaraan politik yang bisa digunakan untuk Pilpres 2004.

Sebagai junior, Akbar Tanjung menyambut baik keinginan Cak Nur menjadi peserta konvensi. Sebagai Ketua Umum, Bang Akbar menyarankan Cak Nur agar menggalang dukungan dari beberapa DPD Golkar sebagai syarat mengikuti konvensi.

Arahan Ketua Umum itu pun dilaksanakan. Cak Nur mulai bergerak ke DPD Golkar di Pulau Jawa, Sulawesi, hingga Maluku. Di tempat-tempat itu, Cak Nur disambut hangat. Gagasan-gagasannya tentang penguatan demokrasi dianggap bak kuliah gratis pascasarjana di kantor-kantor DPD Golkar. Bahkan beberapa tokoh masyarakat yang juga tokoh-tokoh Golkar di daerah memberi dorongan agar Cak Nur serius mencalonkan diri sebagai capres.

Namun dukungan hanya sebatas lisan. Ketika Cak Nur mulai menukik kepada permintaan dukungan tertulis, para pemimpin Golkar daerah mulai mundur teratur. Cak Nur pun heran kenapa sikap para pengurus daerah Golkar sulit untuk diprediksi.

Keheranan itu pada akhirnya beliau tanyakan kepada pimpinan DPP Golkar di Jakarta. Di dalam pertemuan terakhir di Kantor DPP, Cak Nur mendapat penjelasan bahwa dari aspek akademis, tidak ada satupun pengurus Golkar yang meragukan kapasitasnya.

Cak Nur dianggap sebagai prototipe pemimpin Indonesia masa depan. Namun, seperti diulang Cak Nur di hadapan awak media, kecakapan akademik dan intelektualitas belum berarti apa-apa jika tidak didukung “gizi” yang cukup.

Ini yang ditangkap Cak Nur. Bahwa Capres yang mengalami problem stunting intelektualitas dan gagasan, masih lebih baik dibandingkan Capres yang mengalami stunting gizi logistik atau keuangan.

Cak Nur pun akhirnya memutuskan mundur dari perhelatan Konvensi Partai Golkar. Ia mengubur dalam-dalam niatnya yang mulia untuk menjadi Capres pada perhelatan Pilpres 2004. Pada tahun 2005, satu tahun setelah Pilpres, Cak Nur wafat.

Semoga Allah mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya kepada alm. Prof. Nurcholish Madjid…lahu al-Fatihah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *