“Salamu’alaikum, Ibu sing nutup nggih?” Kataku kepada Ibu mengakhiri obrolan kami. Niat hati ingin menanyakan adik sulung, Ibu cerita tentang adik bungsu. Tentang peraturan ganti pakaian (dalam) setiap enam bulan, tentang pakaian (dalam) yang disita petugas, tentang para kaka mudabir yang baik hati, tentang kaka mudabir yang galak, tentang uang saku nya yang habis untuk mendaftar ekstra kurikuler. Mas Hai minta dikirimi pakaian baru, uang saku, susu bubuk instan dan plastik setengah kiloan.
“Hahaha” aku tertawa mendengar kebiasaan inovasi mas Hai, membawa minum dalam plastik. Mudah, praktis dan aman katanya. Mudah, tinggal isi dan ikat (bundel), praktis, ketika minuman habis, tinggal dibuang plastiknya di tempat sampah, dan aman, bebas was was dari bibir bibir teman temannya. Rupanya kebiasaan mas Hai di rumah tak berubah, dia tak mau berbagi botol ataupun gelas, bahkan dengan kami sekalipun, kakak-kakaknya, jorok katanya -_-
Terpaksa aku menyudahi cerita Ibu. Hari ini jadwal melapor kepindahan ke kantor Neue Rathauss, semacam balaikota. Setengah jam lagi jam buka layanan di balaikota akan tutup. Untuk bersepeda “normal” ke Neue Rathauss dibutuhkan waktu sekitar 20 menit.
Sepeda melaju normal. Beberapa kali harus berhenti karena lampu merah. Aku pasrah jika rathaus tutup. Tetapi harus tetap dicoba :D. Aku sudah pernah mengurus surat pindah sebelumnya, tapi belum pernah dengan waktu se-mefet ini -_-
Memotong kompas, aku melalui pemakaman kota yang sepi. Seorang Bapak sedang berjalan dan berbincang dengan gadis kecil, anaknya, sesaat sebelum aku memasukki area pemakaman yang indah dan rapi. Pohon pohon besar yang meranggas menunjukkan kalau ini masih musim dingin. Minus satu derajat celcius dengan sinar matahari cerah menghangatkan wajah.
Seorang kakek sedang berjalan dengan arah berlawanan dengan tongkat di tangannya ketika aku menikung keluar dari area pemakaman. Gedung Neue Rathaus yang bersegi banyak terlihat menjulang.
Sepeda kuparkir di pelataran neue rathauss dan kukunci. Sedikit berlari aku memasuki gedung bergaya modern itu.
231, nomor antrian yang tertera di kertas antrian. Aku mendapatkannya di mesin pencetak nomor antrian setelah memilih menu. Dan 11.57 adalah jam nomor antrian ku dicetak di kertas.
Menuju kursi antrian, duduk, melepas sarung tangan dan syal yang melilit leher, nomor antrianku tertera di monitor ketika jaket hendak kubuka. Pertanda giliranku sudah tiba.
Petugas menjawab “hallo”ku dengan ramah. Setelah duduk dan menyerahkan dokumen, dan petugas sigap memproses, aku melihat jam di ponselku, 11.59.
“Silakan, selamat berakhir pekan!” kata petugas sambil menyerahkan surat registrasi tempat tinggalku yang sudah jadi lengkap dengan stempelnya.
“Dankeshoen und schoenest wochenende!” kataku menimpali.
Dan tepat pukul 12.00 urusanku selesai. Petugas memberi tahu jalan keluar ruangan lewat pintu belakang karena pintu depan untuk layanan telah ditutup.
Tiga menit aku di Neue Rathauss dan selesai urusanku 🙂
Alhamdulillah