Kisah Sang Maryam

Aku tak suka perpisahan…

Göttingen mulai memasuki musim panas, pepohonan hijau dimana-mana, tak jauh beda dengan tanah air beta. Senyumku menyungging, membaca sebuah email yang masuk.

‘Kami menunggumu di rumah kami sebelum kau pulang ke tanah airmu, bertemu sebelum kau pulang sangat kami inginkan, terlebih Antonia’. 

Pesan dalam email Frank, seorang kolega saat aku melakukan laboratory training di musim dingin empat tahun lalu. Dia dan keluarga kecilnya tinggal di sebuah kota kecil di tepian sungai Danube, dua puluh menit dari kota Dresden, kota indah di wilayah bagian timur Jerman yang sempat hancur lebur karena perang dunia. 

Komunikasi kami terjalin melalui email dan kadang melalui telepon seluler. Frank dan keluarganya memiliki rumah mungil lengkap dengan kebun di belakang rumahnya di dataran tinggi Freital

Göttingen jam empat sore masih terang benderang, musim panas memberikan kesempatan matahari bersinar hingga pukul sembilan malam. Aku masih mengitari pusat kota, mencari buah tangan untuk Antonia dan keluarganya. 

Satu paket bingkisan berisi kopi dan sereal bertuliskan ‘Aus Göttingen’ aku beli dari sebuah toko buku yang menyediakan oleh-oleh khas Göttingen. Satu kitaran lagi mencari souvenir untuk Antonia… gumamku dalam hati. 

Sebuah patung gadis Ganseliesel berukuran mungil aku beli dari pusat souvenir di balaikota lama yang sekarang menjadi pusat informasi bagi turis. Letakknya persis di belakang patung ikon kebanggaan kota Göttingen, patung gadis pembawa angsa, Ganseliesel.

Metronom, kereta api regional yang kutumpangi penuh dengan penumpang. Aku harus turun di Erfurt untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan berganti kereta menuju Dresden dan selanjutnya dijemput Frank dan Antonia di stasiun kereta api Dresden. 

‘Aulidya, kami sudah di stasiun Dresden’, Sebuah pesan singkat di ponselku dari Antonia. 

Aku menemukannya, Frank dan Antonia. Pria bertubuh jangkung berambut hitam dan berkacamata itu tersenyum ke arahku, Frank tidak berubah. Di sebelahnya, Antonia berdiri dan langsung berlari ke arahku, kami berpelukan. Antonia sudah tumbuh tinggi, melebihi tinggi badanku. Dia semakin mirip dengan ayahnya, hanya saja rambutnya berbeda. 

Aku disambut Grit, istri Frank dan Konstantin, adik lelaki Antonia yang baru berumur lima tahun. Setelah bertukar hadiah kami menghabiskan waktu di ruang keluarga untuk bercerita.

Antonia membuatkan bantal kecil berbentuk hati, praktek menyulam dan menjahit di sekolah yang ia dapatkan langsung diterapkan untuk membuat hadiah spesial untuk Aulidya katanya… tutur Frank disertai senyum malu-malu Antonia. 

Waktu belum begitu sore saat Frank mengajakku berjalan kaki berkeliling di sekitaran tempat tinggalnya. Bersama Antonia, kami berjalan memutari pemukiman yang terletak di dataran tinggi. Pemandangan hijau hutan dan pemukiman yang asri di sepanjang perjalanan kami. 

Sambil menunjukkan bukit di seberang, gedung sekolah Antonia yang terletak di lembah dan gereja di pusat kota Freital serta arah ke Dresden, kota tempat Frank bekerja. Beberapa tetangga sedang berkebun, dengan ramah Frank dan Antonia menyapa, aku tak ketinggalan, memberikan senyuman dengan gigi geligi tampak. 

Kami berputar kembali ke rumah setelah sedikit menuruni lembah permukiman, batas wilayah pemukiman dengan jalan besar menuju pusat kota Freital yang terletak di daerah lembah. 

‘Aku akan datang saat kau menikah nanti’, Antonia berkata-kata. Frank dan aku tersenyum menanggapi. 

Waktu makan malam keluarga telah tiba. Cuaca terang di pukul tujuh malam tak kami lewatkan, Frank dan keluarganya makan malam di taman belakang. Aku menemani mereka sambil menunggu waktu berbuka puasa yang masih sekitar tiga jam lagi. Antonia pun berkeras menunda makan malamnya untuk menemaniku. 

Sekitar jam sepuluh malam kami kembali ke kebun belakang setelah mengantar Konstantin tidur. Aku berbuka puasa, menu sama dengan makan malam keluarga Frank telah disiapkan, lengkap dengan minuman berbagai rasa. Antonia kembali makan dengan lahap menemaniku. 

Grit hanya menemani kami, Frank pun ikut kembali makan bersama kami dengan porsi lebih sedikit. Langit Freital mulai gelap ketika aku selesai berbuka puasa dengan keluarga Frank. 

Malam itu Grit dan Frank telah menyiapkan makanan untukku sahur. Antonia berjanji menemaniku. Malam itu aku tidur dengan Antonia di kamarnya. Antonia memainkan sebuah lagu klasik dengan klavier kesayangannya. 

‘Aulidya, apakah kamu akan tidur lagi?’ Tanya Antonia setelah kami membereskan piring, pisau dan cangkir yang kami gunakan untuk sahur. 

‘Setelah sholat, mungkin….kalau kau mengizinkan aku mau baca Al Quran’ Jawabku. 

Usai sholat subuh, mengambil posisi di meja belajar Antonia, aku membaca surah Maryam dengan suara lirih, surat yang biasa aku baca atau dengarkan saat bepergian. Antonia duduk, mendengarkan. ‘Kau bisa membacanya dengan suara biasa’. Lanjutnya kemudian. Aku menengok dan tersenyum dan menyelesaikan beberapa ayat terakhir kemudian beranjak mendekati Antonia.

‘Surat ini sangat aku sukai, kau tahu kisah tentang Bunda Maria?’, Tanyaku pada Antonia.

Antonia menggeleng, ‘Aku belum mendapatkannya, pekan lalu, Sonja berkisah mengenai Noah dan air bah’ katanya kemudian.

‘Ceritakanlah, Aulidya’… pinta Antonia kemudian.

‘Dengarkan kisah ini, kisah saat Bunda Maria, atau kami orang muslim menyebut Maryam, adalah kisah wanita termulia sepanjang masa, Allah, melalui Jibril menganugerahinya Isa Al Masih, sebagai utusan Allah’. Aku menuturkan kisah Maryam dalam kitabku. Kisah yang aku ketahui dari terjemahan dan kisah-kisah yang kudengar dari guru ngajiku saat di kampung dulu. 

Antonia mendengarkanku, matanya yang biru berbinar-binar. Aku ingin memeluk anak perempuan yang seumuran dengan adik lelakiku itu. 

‘Aulidya, aku bisa bertanya tentang Islam kepadamu, aku mempelajari Katolik saat ini, semester depan ada pelajaran lintas agama, sepertinya menarik mengetahui agama Islam’ Katanya kemudian memelukku. 

Semburat langit terang menyela lewat jendela kamar yang tak ditutup utuh, matahari mulai beranjak dari peraduannya…

Purwokerto, 23 November 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *