Fenomena ‘mendadak sastra’ yang ditandai dengan makin maraknya kemunculan buku-buku sastra yang diterbitkan mandiri, antologi hingga perseorangan kembali diperdebatkan. Setidaknya itu juga muncul dalam Sarasehan Sastra Banyumasan yang digelar di Pendapa Wakil Bupati Banyumas, Nopember lalu.
Bagi kalangan kritikus sastra ataupun pihak lain, fenomena ‘mendadak sastra’ ini sebagian dipandang menggelisahkan. Jika maqom kepenulisan diukur dengan terbitnya buku, maka sekarang ini sangat mudah dicapai. Siapapun bisa menerbitkan tulisannya sendiri bentuk buku kepada penerbit tertentu meski dalam jumlah kurang dari 10 eksemplar.
Sebagian pihak memandang, fenomena ‘mendadak sastra’ ini terjadi hanya untuk kepentingan pragmatisme ‘an sich’. Fenomena ‘mendadak sastra’ jauh panggang dari api ‘sastra untuk kemanusiaan’. Ia hanyalah onani, untuk pemuas diri sendiri saja.
Aspek idelogi dan estetik dalam bersastra juga seringkali menjadi terabaikan dalam fenomena ‘mendadak sastra’ ini. Fenomena mendadak sastra telah menjadikan sastra menjadi komoditas pasar semata. Betapa dalam fenomena ‘mendadak sastra’ ini kurasi telah begitu cair, bahkan tak diperlukan lagi. Sastra yang tanpa kurasi inilah yang dipertanyakan kualitasnya dan inilah yang digelisahkan sebagian kalangan.
Sementara itu, bagi sebagian kalangan menganggap fenomena ‘mendadak sastra’ adalah sebuah keniscayaan. Di era kemudahan dunia maya hingga aksesibilitas dunia penerbitan lokal, menerbitkan buku begitu mudah. Mereka bisa menerbitkan buku sesuka mereka, semampu berapa eksemplar dan dengan berbagai aneka tujuan mereka.
Baca Juga : Gerakan Sastra dari Pinggiran Perlu Diperbanyak
Kemudahan menerbitkan buku ini pula yang menjadi angin segar bagi kalangan pemasar buku untuk menggaet banyak peminat buku. Tentulah, dalam dunia pemasaran buku, terkadang kualitas isi buku seringkali terkalahkan politik pemasaran. Namun kemungkinan buku itu tidak laku juga sangat bisa terjadi. Rugi menjadi konsekuensi.
Kemudahan untuk menerbitkan buku ini dipandang sebagian kalangan sebagai bagian ikhtiar persuasif mendorong siswa dan guru untuk menulis. Minat menulis diharapkan tidak serta merta dipupus dengan persoalan kualitas isi buku. Tentunya bagi mereka yang benar-benar berniat untuk menulis, pastinya akan selalu berupaya memperbaiki diri.
Pada akhirnya kita harus meyakini, betapa hukum rimba dalam kepenulisan tentulah akan terjadi. Karya sastra yang berkualitas pasti akan dicari dan diburu oleh para penikmat sastra sejati. Pada akhirnya para pemasar buku juga akan memperhatikan kriteria sastra berkualitas yang layak dipasarkan.
Karya sastra yang berkualitas pasti akan terus diperbincangkan dan hidup sepanjang jaman. Sastra yang abadi adalah sastra yang selalu lekat dengan persoalan kemanusiaan. Karya sastra itu adalah karya sastra yang dibuat dengan ideologi, keikhlasan hati dan nalar sehat jiwa, bukan semata untuk kepentingan perut penulisnya.