1.
Rasa lelah telah menghinggap urat tubuhku. Lantas, aku membuka bungkus roti yang sedari tadi menggoda mataku. Sebagai pendampingnya, aku meminum seteguk demi seteguk air mineral. Aku sengaja memilih duduk di bangku yang tak jauh dari pintu tengah bus. Di sebelah kiri nomor dua. Sambil menunggu bus melaju, tak banyak yang aku lakukan. Aku hanya sekedar menghela napas, lalu menonton lalu lalang manusia di terminal. Dengan ukuran dua kali lebih besar dari mikro bus, pastinya si sopir mengharapkan busnya penuh dengan penumpang. Sehingga, tak khayal jika si sopir dan temannya harus ngetem sekitar lima belas menit lamanya.
Aku duduk bersebelahan dengan seorang ibu yang kelihatannya lebih muda dari ibuku. Muka kusutnya mengundang banyak gambaran yang tidak-tidak dalam pikiranku. Mungkin dia habis kerja. Atau mungkin dia habis menjenguk anaknya di rumah sakit. Atau mungkin habis-habis yang lain.
Aku mengucap syukur atas limpahan Allah kali ini. Pasalnya, kini aku sudah mendapat bus yang bisa mengantarku pulang. Walau sebenarnya aku merasa agak kecewa. Betapa tidak. Buku yang telah aku cari -Novel Belenggu karya Arjmin Pane- tak bisa aku bawa pulang. Padahal, mencarinya sungguh membuatku minta ampun! Aku harus menilik setiap buku pada bilik-bilik rak yang penuh dengan ratusan buku. Aku harus melihat judul dan nama pengarangnya satu persatu.
Tapi, entah kenapa sewaktu itu aku sama sekali tak ragu akan keberadaan buku purba itu. Aku yakin seyakin-yakinnya, perpustakaan daerah -yang aku kunjungi- ini pasti masih menyisakan bacaan-bacaan sastra bermutu dari berabad silam. Lagi pula, aku sudah mati-matian menyisihkan waktu ke sini hanya untuk mencari buku itu. Jadi, mau tak mau. Aku, seorang Runi, tidak boleh gentar!
Entah sudah berapa ratus buku yang aku tengok. Tiba-tiba, sebuah buku yang sangat kusut mencuri pandangan kedua bola mataku. Posisinya, persis di dekat novelnya Pak Ahmad Tohari. Alhamdulillah, ini dia! Cover depannya yang berupa gambar animasi seorang wanita terlihat usang termakan zaman.
Ah, semoga temanku senang karena aku telah menemukan buku yang dia cari. Walau dia seorang laki-laki, tetapi bukan maksudku untuk mencari perhatiannya dengan sengaja mencarikan buku itu. Hanya saja, aku ingin menantang diriku sendiri. Apakah aku termasuk orang yang pantang menyerah atau tidak. Dan hasilnya, tara! Aku berhasil!
Tak lama, aku memutuskan ke bagian pustakawan. Tetapi, pustakawannya terlihat sangat sibuk. Mereka mengemas buku-buku yang berserakan di pinggir rak. Lalu mereka, memasukkannya ke dalam kardus-kardus besar. Dengan lantang, aku mencoba berujar meminta mereka melayani peminjaman bukuku. Namun, seorang wanita bertubuh semapai nampak bingung mendengar ucapanku.
“Waduh. Maaf mba, kami sedang tidak melayani peminjaman. Mungkin di pertengahan Mei nanti bisa,” reaksi seorang pustakawati.
“Loh, kok?” tanyaku tanpa basa basi.
“Begini mba. Perpustakaan ini mau dipindah ke gedung yang baru,” tambahnya.
“Ini denahnya. Mungkin suatu saat mba perlu ini,” pungkasnya sambil menyodorkan selembar kertas HVS penuh dengan gambar jalan.
Aku berdiri tegang menatap kertas itu. Ya Allah. Ah, tetapi justru aku bersyukur. Kalau aku tak ke sini, aku tak akan tahu kalau perpustakaan ini akan pindah.
“Thanks, God. Thanks, Anton,” aku tersenyum getir.
Jam sudah menunjuk angka empat. Sudah saatnya aku harus bergegas ke masjid. Ritual menghadap kepada Allah adalah salah satu ritual yang tidak bisa aku tinggalkan begitu saja. Ini adalah salah satu pilar penegak keimanan jiwa rohaniku. Jika aku membiarkan pilar-pilar itu roboh, habislah sudah riwayat jiwaku. Aku akan seperti mayat hidup berhati mati.
Dan satu lagi. Hal yang paling membuatku merasa tidak tenang adalah infak! Sungguh, jika tidak infak, hatiku akan diliputi was-was berkepanjangan. Pasalnya, uang di kantongku ini juga ada hak milik orang lain. Walaupun itu hanya sedikit. Tetapi, aku bingung. Uangku sudah menipis. Sebagai siswa SMA, aku belum punya penghasilan mandiri. Aku masih meminta belas kasihan orang tuaku. Apalagi, sekarang ini aku sedang digandrungi banyak tagihan uang ini, ini, ini. Untuk itu, itu, itu. Mulai dari tagihan uang study tour yang nilainya ratusan ribu, sampai tagihan arisan yang telat satu minggu.
Huh, seharusnya tadi aku tak perlu ke sini. Biar uangnya bisa aku tabung nanti, gerutuku dalam hati. Ah, sudahlah. Aku mencoba mengikhlaskan semua ini. Kata orang bijak, bersedekah sama saja meminta bantuan Allah. Dan kata Allah, Dia -Allah- akan menggantinya sepuluh kali lipat. Baiklah, aku memasukkan empat keping lima ratusan ke dalam kotak amal di depanku.
Kini, uangku tinggal tujuh ribu. Dua ribu untuk pulang, dan lima ribu lainnya untuk membayar arisan. Iuran yang lain? Mungkin bisa aku pikirkan nanti di rumah. Ah, hatiku kecut. Tetapi, tatkala aku melihat Al Qur’an mini di bilik tasku, rasa kecutku terhablur menghilang. Seperti ada sesuatu yang menenangkan pikiran. Al Qur’an itu aku beli beberapa minggu yang lalu. Bagi ukuran kantongku, harganya memang tergolong mencekik. Enam puluh delapan ribu rupiah.
2.
Kata Allah, aku diturunkan agar menjadi pedoman hidup manusia. Kata Allah pula, barang siapa yang membacaku, dia akan dilimpahi banyak pahala. Tetapi, aku tak habis pikir. Bagaimana bisa, kebanyakan orang-orang -yang mengaku- Islam tak mengenal sedikitpun tentang isiku. Sebuah kumpulan bunyi firman Allah untuk mereka.
Dan ternyata, janji Allah benar. Jika zaman semakin mendekati akhir, riwayatku juga semakin tersingkir. Sehingga, aku hanya akan dialun-amalkan secara ikhlas oleh orang-orang yang benar-benar sadar akan hakiki dirinya. Sebagai penyembah Sang Pencipta dan khalifah bumi. Ya, ya, aku mafhum. Godaan syetan memang selalu samar, tetapi sangat menggoda syahwat. Betapa tidak. Coba lihatlah. Syirik masih merajalela. Zina ada dimana-mana. Orang tua dibentak seenaknya.
Semoga, khalifah -yang sering dipanggil Runi itu- tidak sedemikian rupa halnya. Dan aku harap, dia termasuk manusia yang ikhlas mengamalkan Al Qur’an seperti aku
Kini, bus mulai melaju. Kecepatannya sedang-sedang saja. Seperti biasa, jika sebuah bus besar berhenti, hati pengamen mana yang tak tertarik untuk masuk? Dan hati penumpang mana yang menginginkan mereka masuk? Aku yakin, pasti banyak penumpang yang menolak di dalam hati. Tetapi, pasti banyak pula pengamen terpaksa seperti itu demi makan sesuap nasi.
Sesuap nasi? Benarkah?
3.
Suara melengking seorang pengamen membuat lamunanku buyar. Pengamen itu datang pada saat yang tidak tepat, ketusku dalam hati. Tetapi, setidaknya ada sebagian lirik lagu yang bisa membuatku tersenyum geli. Setelah selesai menyanyi, pengamen itu lantas menjulurkan tangannya seraya meminta uang pada orang-orang dalam bus. Satu persatu penumpang itu menolak tanpa sopan. Namun, ada juga yang memberinya sedikit uang receh. Bahkan, ada pula yang memberinya sepuntung rokok! Ckck, itu sama saja berbagi penyakit dong, celetukku lirih. Kini giliran aku yang dia juluri. Nampak jelas tubuh tinggi pengamen itu berdiri mengharapkan sesuatu padaku. Sepertinya, umurnya sudah sekitar dua puluh lima tahunan. Tak ketinggalan, sebuah anting bertengger pula di telinga kanannya.
Aku mencoba merabaraba isi tasku. Siapa tahu masih tersisa beberapa keeping uang. Ah, tetapi hasilnya nihil. Aku mencoba mendongak, menatap pengamen itu dengan air muka senyum.
“Ya Allah…,” ucapnya tiba-tiba.
Dengan raut kecewa, pengamen itu kembali mendekati penumpang lain. Tanpa dia sadari, ucapannya tadi membuat aku merasa bersalah dan terkesan kikir. Tetapi, mau bagaimana lagi? Aku memang tak ada uang lebih.
***
Tak lama, bus ini telah mendekati perbatasan kota. Dan, ya, lagi-lagi pengamen masuk. Tetapi, kali ini dia seorang anak laki-laki seumuran anak SD. Tubuhnya kecil. Dia memakai topi hitam lorek putih di kepalanya. Nyanyiannya terdengar samar-samar, sangat cepat, dan terkesan tak ada niat untuk menyanyi. Ah, mungkin suaranya sudah mulai serak sehingga niatnya untuk bernyanyi ternodai. Atau mungkin dia memang tak ada niat sedikitpun untuk bernyanyi bagus.
Seperti biasa, setelah selesai menyanyi, ritual meminta upah pun dia lakukan. Sama seperti nasib pengamen sebelumnya, banyak tangan-tangan bergerak mengisyaratkan tolakan. Tetapi, tidak dengan seorang ibu yang duduk bersebelahan denganku itu. Kali ini beliau sungguh lain. Ketika pengamen pertama datang, beliau menolak dengan sangat tegas. Tetapi, kali ini beliau rela memberi uang lembaran untuk anak kecil tadi.
“Jika melihat bocah tadi, saya jadi kepikiran anak saya. Bagaimana bisa anak sekecil itu dibiarkan mencari uang sendiri? Dan hati orang tua mana yang tak kasihan,” celetuk ibu itu kepadaku tiba-tiba.
Sambil mengulas senyum, ibu itu melanjutkan, “Bagaimanapun kondisi ekonomi sebuah keluarga, menyuruh anak di bawah umur untuk mengamen bukanlah pilihan yang tepat. Seharusnya, dengan usia yang masih sebelia itu, mereka diberi ilmu sebanyak-banyaknya. Kalau tidak di sekolah, dididik di rumah pun tak masalah.”
Tak aku sangka, semulia ini kah hati seorang ibu? Dan, tadi ibu itu bilang: ilmu? Aku kembali menatap anak itu. Dia nampak sedang berdiri di pintu bus. Menunggu bus jika akan berhenti. Tanpa ragu, aku memanggilnya. Dia nampak kaget, kepalanya celingukan. Dia akhirnya menangkap tatapanku dan mendekat.
“Ada apa, Kak?” tanyanya penasaran.
“Agamamu apa?” tanyaku.
“Islam, Kak,” jawabnya ringan.
“Kamu bisa baca Qur’an?”
“Hehe, ndak, Kak. Punya juga ndak, gimana bisa mbaca nya?” Dia nampak malu menjawabnya. Di dalam hatiku, muncul kata ‘mengenaskan’ mendengar jawabannya. Setelah lama berpikir, aku mengambil Al Qur’an mini itu dari tas.
“Ini untukmu. Terimalah,” ucapku mengulas senyum.
“Hah? Ndak usah, Kak. Kan tadi aku dah bilang, aku belum bisa baca itu,”
“Bawa aja. Nanti kamu kan bisa belajar sedikit demi sedikit sama yang udah bisa. Walau missal cuma satu ayat perhari pun ndak masalah.” Aku mencoba membujuknya. Dia mengangguk-nganggukkan kepalanya.
“Tapi ingat, jangan dijual ya. Hahaha,” sindirku. Dia hanya tersenyum malu.
4.
Empat hari kemudian…
Banyaknya hujaman tagihan semakin membuntukan jalan pikirku.
“Ya Rabb, kali lipatkanlah sedekahku. Lalu, turunkanlah padaku,” pintaku menatap langit. Dengan muka sembab, aku terus menatap ke atas, ke langit-langit bumi. Dan tak lama, aku menunduk pada tatapan tanah.
“Runi !”
Terdengar seseorang tengah memanggilnku. Dari kejauhan, aku melihat seorang lelaki paruh baya. Lelaki itu berlari mendekatiku.
“Ada apa, Yah?” tanya Runi penasaran.
“Lihat, ayah bawa apa?”
Laki-laki itu menjulurkan tangannya, lalu membuka sebuah kotak besar.
“Ndak ada apa-apa, Yah,” jawab Runi kecewa.
“Lihat ini.” Bapak itu membuka dompet hitam miliknya.
“Uang?”
“Yap. Alhamdulillah, Run. Dagangan manik-manik ayah tadi dibeli semua sama pemilik took manik-manik besar. Tadi kamu lihat kotak besar tadi bukan? Sudah kosong! Alhamdulillah, Nak,” Bapak itu memeluk anaknya penuh bahagia. Runi berdiri kaget melongo.
“Alhamdulillah, Yah,” Runi mengulas senyum indah pada ayahnya. Tangan kanannya pelan-pelan menyeka anakan haru di kedua belah pipinya.
“Nah, sekarang kamu butuh uang berapa?”
“Tujuh ratus ribu, Yah.”
“Ini untukmu. Kurang ndak jumlahnya?”