Ngaji

NGAJI, kata tersebut sudah tidak asing lagi di telinga kita. Umumnya kata “Ngaji” dikaitkan dengan bentuk verbal “Mengaji” yang diambil dari kata dasar ‘kaji’, yang memiliki arti belajar atau mempelajari. Terlebih, orang selalu mengaitkan kata ‘Ngaji’ untuk kegiatan belajar-mengajar yang hubungannya dengan aktivitas keagamaan. Jika melihat dari akar bahasa ini tentunya kata ‘ngaji’ tidak begitu sakral. Artinya output yang dihasilkan dari kegiatan mengaji tidak begitu penting, mau bisa atau tidak bisa, mau pintar atau tidak. Yang terpenting dari mengaji adalah kegiatan yang berlangsung atau dilakukan saat itu.

Menurut saya, kata ‘ngaji’ amat sangat sakral, karena tidak semua kegiatan belajar mengajar disebut ‘ngaji’. Ngaji berasal dari kata dasar ‘Aji’, yang kemudian mendapat imbuhan atau Afiksasi “Ng” di depan, yang berfungsi untuk membentuk kata kerja. Aji dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti berharga sekali atau tidak ternilai kehormatan dan kedudukannya. Sehingga orang yang ‘Ngaji’ akan mendapatkan kehormatan atau kedudukan yang tinggi bila dibandingkan dengan yang tidak ‘ngaji’.

Ini sama halnya dengan tradisi orang jawa yang memberikan gelar kepada orang yang sepulang dari ibadah haji dengan gelar “Pak Kaji” untuk gelar laki-laki atau “Bu Kaji” untuk gelar perempuan. Artinya, masyarakat memberikan gelar kehormatan atau kedudukan tertinggi bagi mereka yang lulus menjalankan ibadah haji.

Jika ‘Ngaji’ kita artikan dengan kehormatan atau kedudukan yang tinggi, tentu orang yang ngaji harus mendapatkan hasil dari apa yang dipelajarinya, yaitu ilmu. Orang berilmu dengan orang yang berpengetahuan itu berbeda. Orang berilmu adalah orang yang mampu mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan orang yang berpengetahuan adalah orang yang hanya memiliki pengetahuan atau pemahaman, namun tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Orang yang berpengetahuan hanya memiliki kadar intelektualitas, sehingga keilmuannya tidak sampai pada hati, hanya sampai otak. Ini akan berbeda dengan orang berilmu yang pengetahuannya sampai pada hati. Hati itulah yang kemudian mempengaruhi pada sikap, tindakan dan perilaku. Oleh karenanya kita kenal tiga bentuk kecerdasan. Pertama, kecerdasan intelektual (intelligence quotient) yaitu kemampuan otak atau berpikir manusia. Kedua, kecerdasan emosional (emotional quotient) yaitu kemampuan mengolah emosi (akhlak). Ketiga, kecerdasan spiritual (spiritual quotient) yaitu kemampuan hati, jiwa atau ketuhanan.

Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu adalah penyatuan dari ketiga bentuk kecerdasan tersebut. Sehingga tujuan ilmu adalah bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Ilmu harus dimanfaatkan dengan mengajarkan dan –yang terpenting—mengamalkannya. Ada pepatah dalam bahasa arab “ilmu bila amalin kasy syajarotin bila samarin,” Ilmu yang tanpa amal adalah seumpama pohon yang tak berbuah.

Orang yang hanya berpengetahuan (intelektual) bukan berarti tidak bisa mengamalkan pengetahuannya. Dia bisa mengamalkan apa yang diketahuinya, hanya saja amal atau perbuatan yang dia kerjakan terkadang tidak berdasar pada akhlak atau kemampuan mengolah rasa (jiwa). Sehingga sikap dan perilakunya cenderung memaksakan kehendaknya saja. Memaksa orang lain mengikuti fatwa atau tafsirannya sendiri.

Dari pengertian di atas itulah, ngaji menjadi sakral karena sebagai manifestasi dari Agama. Kalau orang jawa mengatakan agama adalah ageming aji atau ageman aji, yang maknanya baju keluhuran. Agama sebagai kehormatan yang tak ternilai, yang harus dijaga sebaik mungkin. Menjaga kehormatan agama tidak lain adalah dengan ilmu, tanpa ilmu agama hanya menjadi ritual belaka. Oleh sebab itu, jika anda sudah mengaji seharusnya anda lebih andap ashor, rendah hati dan memberikan pemahaman lebih bijak.

Itulah sebabnya Allah Swt mengajarkan kita dengan kalam-Nya : “ud’u ila sabili rabbika bil hikmati wal mau’idzotil hasanati wa jadilhum bil lati hiya ahsan,” –Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan Hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (Q.S. An-Nahl: 125)

Kalau sudah demikian, ilmu yang kita miliki bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Barulah kita pantas menerima tawaran dari Allah Swt yang menyebutkan “Yarfa’illahu lladzina aamanu minkum walladzina utul ‘ilma darajat.” –Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan (iImu) beberapa derajat. (Q.S Al Mujadalah: 11)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *