Malem Likuran

Ada tradisi buka bersama di kampung saat bulan Ramadan. Malem likuran namanya. Tradisi ini masih ada dan dilestarikan. Acara diadakan di mushola/masjid terdekat.

Makanannya bawa masing-masing dari rumah. Wadah pembawanya namanya tenong (terbuat dari anyaman bambu yang modelnya melingkar). Entah di daerah lain namanya apa wadah makanan seperti ini.

Biasanya, masing-masing keluarga menyiapkan malem likuran dengan suka cita. Menunya lebih istimewa dari hari-hari lain saat Ramadan. Anak-anak kecil sangat menunggu momen likuran ini. Selain karena ramai buka bersama orang satu kampung, menu istimewa itu yang ditunggu-tunggu.

Tak jarang, saat di lokasi buka bersama malem likuran itu, mereka saling icip menu milik orang yang duduk di sebelahnya. Tukeran lauk. Hebat memang leluhur kita, bisa menyatukan kerukunan warga dengan buka bersama seperti ini. Tentu, kearifan lokal semacam ini patut dilestarikan.

Ooh iya, malem likuran ini dilaksanakan dua tahap. Saat buka puasa pas magrib dan selepas tarawih. Menu yang dibawa juga berbeda. Kalau pas buka puasa, itu menu makanan berat, nasi beserta lauk pauknya. Kalau yang setelah salat tarawih, itu menu jajanan pasar tradisional seperti awug-awug dan sebagainya. Cemilan itu untuk menemani kaum pria baik tua maupun muda yang akan tadarus bersama.

Filosofi malem likuran ini sebenarnya intisari dari bulan Ramadan itu sendiri. Malam pertanda sepuluh hari terakhir menuju Lebaran. Masuk ke malam lailatul qadar. Harapan leluhur kita dulu, kalau sepuluh hari terakhir itu ibadah-ibadah rutinnya digas lagi. Salat sunnah dibanyakin, tadarus dikencengin.

Lagi-lagi saya musti mengatakan leluhur kita dahulu itu memang arif. Menjelaskan makna sepuluh hari terakhir Ramadan bukan dengan hanya menyampaikan dalil hadits ini itu (seperti ceramah lisan di televisi), tapi dengan simbol berupa buka bersama malem likuran. Disampaikan dengan cara bahagia dan guyub rukun, sambil makan sama-sama. Klop, maktretep, jos gandos.

Praktik komunikasi seperti ini saya pikir relevan dengan modernitas. Gastrodiplomasi kalau orang modern menamakannya. Diplomasi dengan metode makan (kulineran) bersama. Secara ilmiah, orang saat plesiran itu mengeluarkan hormon kebahagiaan. Mungkin, orang yang makan bersama teman-temannya juga akan mengeluarkan hormon yang sama.

Kembali ke malam likuran, momen ini juga biasanya akan dimanfaatkan oleh pamong desa (pemerintah) untuk menyampaikan pengumuman penting. Misalnya pengumuman kerigan (kerja bakti), kepatuhan membayar pajak dll yang sangat efektif karena mumpung lagi ada kumpul bersama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *