Esai  

Awal Mula Penciptaan Menurut Yudaisme

Bereshit 1:2b

“Dan Ruach Elohim terbang di atas air” (JPS, Ber. 1:2b). Parafrasa dari ayat dalam Sefer Bereshit tersebut merupakan terjemahan Tanakh menurut Jewish Publication Society (JPS) yang kerap dianggap sebagai awal mula penciptaan atau kelahiran alam (yolidat ha-‘olam).

Konsep Sefer Bereshit tentang penciptaan alam ini merupakan bagian pertama dari rangkaian konsep penciptaan yang tumpang-tindih antara lapisan teks Elohist dan Yahwist dalam dua pasal pertama Bereshit yang memuat dua riwayat kronologi penciptaan berbeda (Ref. Nahum N. Sharna, “The Commentary on Genesis”, et. Richard Elliot Friedman, “Who Wrote the Bible,” and Textes de al-Ğuwainī, Shifā’ al-Ghalīl).

Penjelasan ayat pertama ini menimbulkan perbedaan tafsiran dalam tradisi Yudaisme Rabbinik maupun tradisi Kohenim Samaria (Shimronīm).

Kata Ruach dalam tradisi Yudaisme Rabbinik ditafsirkan baik oleh Saadya Gaon, Eben Ezra dan Rashī bukan sebagai pribadi ilahi (deous hypotheses), tetapi sebagai kekuasaan Tuhan dalam kejadian Penciptaan yang secara alegoris menggambarkan Tuhan berperan langsung dalam penciptaan alam melalui kekuasaan-Nya.

Sedangkan tradisi Kohenim Shimronīm misalnya yang dikutip di antaranya oleh Abū Ishāq as-Sarī dalam tarjamah Torah Samaria menakwilkan kata Ruach (roh) sebagai Rīh (angin) dan bahkan hal serupa juga dilakukan oleh Nahum N. Sharna dalam komentarnya terhadap Bereshit.

Baca Juga : Alam Semesta Sejatinya Tidak Ada

Penakwilan yang terjadi dalam Torah Samaria tersebut merupakan kelanjutan dari tradisi Targūm baik yang disusun oleh Jonathan b. Uziel maupun Onqelos pada abad ke-1 M. yang kerap menggunakan parafrasa memra (firman) untuk menjelaskan teks-teks yang dinilai dapat menimbulkan pemahaman antrophormis.

Konsep Ruach (Roh) sebagai manifestasi Ilahi dalam penciptaan juga dipertahankan dalam beberapa teks polemik Yudaisme seperti Nizzahon Vetus, Nizzahon Yashan, Milchamot Hashem, etc. untuk menghindari konsepsi penisbatan Ruach (Roh) sebagai pribadi (hypothesis) Ilahi tersendiri yang tentunya bertentangan dengan keyakinan (de’at) dalam teologi Yudaisme Rabbinik.

Tetapi justru teks-teks Midrash seperti Midrash Bereshit Rabba dan teks-teks Kabbalah seperti Zohar dan Sefer ha-Qoma tidak keberatan dengan ungkapan dan implikasi makna dari Ruach Elohim (Roh Tuhan) seperti apa adanya.

Kisah penciptaan dalam Sefer Bereshit sendiri diduga oleh Mark S. Smith dan William G. Dever memiliki akar hubungan kesesejajaran intertekstual yang kuat dengan kisah-kisah awal mula penciptaan dunia kuno Timur dekat seperti teks Gilgamesh dan Enuma Elish.

Enuma Elish mencatat penciptaan alam dari kondisi entropi (chaos) melalui peran Anu (Ilu) dan Ninhursag (Ashera) yang menurunkan Marduk sebagai penguasa dunia bawah.

Sebuah rujukan yang jelas terhadap penciptaan dibuat pada pernyataan bahwa unsur pertama alam adalah air primordial (Asbuch) yang dikatakan menjadi asal-muasal dari Anu (Ilu) dan Ninhursag (Ashera).

Konsep penciptaan dunia kuno tersebut merujuk pada alegori mitologis yang berupaya mengonstruksi penciptaan alam berdasarkan representasi gejala-gejala alam yang disebut kekuatan alam (dynamis). Tetapi rujukan terhadap air primordial (Asbuch) sebagai sumber bagi kehidupan bisa jadi bersumber pada gagasan filosofis dunia kuno seperti filosof Thales.

Kita dapat menduga bahwa air primordial merupakan unsur pertama dari penciptaan alam yang bersifat materil setidaknya dalam konsep dunia kuno.

Sedangkan gagasan tentang Ruach (Roh) sebagai manifestasi Ilahi dalam awal mula penciptaan bukanlah gagasan yang asing dalam tradisi dunia kuno. Shahrastani misalnya meriwayatkan mitos penciptaan Persia kuno dari ajaran-ajaran Pra-Mazdayasna) tentang kisah Zarwan yang merupakan entitas primordial yang berpikir dan melalui bayang-bayang pikirannya lahir manusia pertama Kuyumarth.

Baca Juga : Kemustahilan Pernikahan Eksogami Raja Majapahit dan Putri Champa

Bayang-bayang pikiran Tuhan atau entitas primordial ini merupakan gagasan Neoplatonis yang masih dapat diidentifikasi dalam teori emanasi (faidh) yang dikemukakan oleh al-Farabī.

Sebuah rujukan yang lebih jelas diriwayatkan oleh Abul Hasan al-Asy’arī dan Abu Mansūr al-Baghdadī terkait gagasan tajsim yang dikemukakan oleh Mughīrah ibn Sa’ad sekalipun dinilai oleh Ja’far as-Subhanī sebagai pendapat yang direkayasa untuk mendeskriditkan atau menjelek-jelekkan ajaran Syi’ah.

Diriwayatkan bahwa Mughīrah ibn Sa’ad menyebut Tuhan terbang di atas lautan hingga ia melihat bayangan diri-Nya dan mahkotanya jatuh. Bayang-bayang Tuhan (Zhill-l’llāh) ini dalam tradisi Persia kuno menunjukkan realitas kosmologis alam yang oleh Toshihiko Izutsu diidentifikasi dengan konsep Zhill-l’llāh fī al-‘alām (Bayang-bayang Ilahi dalam alam).

Konsep ini tidak terlepas dari gagasan dunia kuno yang bersifat mitologis bahwa kewujudan alam merupakan manifestasi melalui emanasi (faidh) eksistensi Tuhan dalam alam.

Pada gagasan dunia kuno tidak begitu jelas perbedaan antara penciptaan alam sebagai perbuatan dan kekuasaan Tuhan dalam mewujudkan alam yang terpisah dari wujud eksistensi diri-Nya dan konsep Neoplatonis tentang emanasi (faidh) Tuhan melalui pikiran-pikiran-Nya yang mewujud sebagai bayang-bayang diri-Nya yang merepresentasikan bentuk wujud immaterial eksistensi alam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *