Ayo Sekolah ke Luar Negeri

SALAH satu Negara yang biasa dijadikan acuan terkait pembangunan ekonomi dan teknologi adalah Korea Selatan. Pada tahun 1960an, pasca perang saudara kondisi Korea Selatan sangat porak poranda. Nyaris semua indikator ekonomi memposisikan Korea Selatan selevel Ghana atau negara miskin lainnya. Hebatnya dalam tiga dekade Korea mampu mencapai keunggulan selevel dengan pencapaian negara2 barat dalam kurun satu abad.

Apa yang bisa kita pelajari dari Korea Selatan?

Dalam rentang 1960-1970an Korea membentuk kementerian Ristek, mendirikan KIST (Korean Institute of Science and Technology) dan KAIS (Korean Advance Institute of Science).

Industri semikonduktor di Korea bermula dari perusahaan Amerika yang mendirikan pabrik di Korea karena tertarik dengan upah buruh yang murah. Meski tidak ada transfer teknologi yang nyata, setidaknya Korea memiliki buruh2 terampil dalam industri semikonduktor. Kemudian pada tahun 1974 South Korea Semiconductor didirikan sebagai Joint Venture antara Grup Samsung dan “geng” diaspora Korea yang bermukim di Amerika.

Kata kuncinya adalah peranan diaspora Korea di Amerika yang turut mengawali Industri semikonduktor di Korea.

Cerita semacam ini juga terjadi di China. Majalah The economist pernah mengulas peran vital diaspora China dibalik kejayaan China. Mereka mengistilahkannya dengan “Hai Gui” alias kura-kura laut yang kembali ke darat.

Ketika Abdus Salam membidani PINSTECH (Pakistan Institute of Nuclear Science and Technology), salah satu titik pijaknya adalah mengirimkan 70 orang untuk belajar di Argonne National Lab. di Amerika.

Saya iseng mencari tahu profil beberapa anak muda founder start up besar dan sedang booming. Ada benang merah yang cukup jelas.

Baca Juga : Mari Merantau Kawan!

Nadiem Makarim sang pendiri Gojek yang kini menjadi mendikbud adalah jebolan Brown University dan Harvard (US) serta karir pertamanya adalah McKinsey, konsultan bisnis asal US.

Fajrin Rasyid, co-founder BukaLapak adalah alumni BCG (Boston Consulting Group), perusahaan konsultan yang juga berpusat di US. Ferry unardi sang pendiri traveloka adalah alumni Purdue University (US) dan pernah bekerja di Microsoft sebelum melanjutkan studi di Harvard meski tidak ia tuntaskan. Pendiri RuangGuru yakni Muhammad Iman Usman meraih helar S2 dari Columbia University (US) serta Adamas Belva yang merupakan jebolan Stanford dan Harvard.

Andi Taufan yang kini menjadi stafsus presiden adalah pendiri Amartha. Sang penjuang UMKM ini adalah jebolan Harvard. Billy Mambrasar, yang juga stafsus presiden adalah pendiri yayasan KitongBisa dan pernah studi di ANU (Australia) dan Oxford.

Benang merah dari anak2 muda dengan capaian2 luar biasa tersebut adalah mereka pernah menjadi diaspora. Diaspora inilah yang juga menjadi salah satu kunci dari kemajuan Korea dan China.

Saya sangat senang melihat semakin banyak orang Indonesia yang berkesempatan studi ke luar negeri, apalagi sejak adanya program LPDP.

Namun kita masih perlu lebih banyak lagi.

Kuota LPDP, Fullbright, Chevening, DAAD dan beasiswa2 lainnya masih belum cukup untuk sampai pada “critical point” atau titik kritis terkait jumlah mimimal yang mampu memberi efek bola salju.

Saran saya kepada Kemenristek:

  1. Berdasarkan rencana induk riset nasional 2017-2045, fokus dan bidang unggulan telah ditetapkan. Yang perlu dilakukan selanjutnya adalah pendataan PhD, praktisi, enterpreneur di bidang2 unggulan tersebut.
  2. Kirim anak2 muda Indonesia untuk belajar keluar negeri di bidang2 unggulan yang telah ditetapkan (ada 10 bidang berdasarkan rencana induk riset nasional). Beasiswa ini harus massif, lebih massif dibanding LPDP. Jika tiap bidang memerlukan 100 PhD sebagai contoh, maka totalnya 1000 orang yang dikirim untuk belajar.

Baca Juga : Pengalaman Pertama Nyepi di Bali

Namun sebenarnya ada hal lain yang bisa dimafaatkan dengan anggaran minim. Saya sekolah di US bukan dari program beasiswa manapun melainkan beasiswa langsung dari universitas disini. Setiap tahun ada ribuan (mungkin ratusan ribu) kursi PhD yang ditawarkan gratis oleh universitas2 di US melalui skema teaching/research assitant. Dan kursi2 ini sebagian besar dimanfaatkan oleh pelajar dari China dan India sepengamatan saya.

Saya berharap semakin banyak pelajar Indonesia yang memanfaatkan kesempatan ini, bersaing dengan pelajar2 dari China dan India. Ini adalah peluang emas mengingat negara tidak perlu keluar uang banyak untuk membayar tuition fee. Maka saran saya berikutnya:

  1. Bekerja sama dengan berbagai komunitas diaspora (I4 contohnya) untuk promosi besar2an tentang peluang ini. Bahwa diluar LPDP, Fullbright, dsb anak Indonesia bisa apply langsung dan mendapat beasiswa dari univeritas2 di luar negeri.
  2. Sebagai insentif, buat program gratis pelatihan TOEFL dan penulisan Research essay sebagai syarat umum mendaftar sekolah di luar. Juga sediakan tiket berangkat sebagai insentif tambahan.

Kelebihan lain dari skema ini adalah kesempatan untuk bekerja (F1-STEM OPT) hingga 3 tahun setelah lulus. Jadi ketika kembali pulang ke Indonesia, bukan hanya gelar yang dibawa melainkan juga pengalaman industri.

Bayangkan jika ada 10 ribu pelajar per tahun yang berangkat keluar melalui skema ini. Indonesia akan menjadi raksasa.

Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *