Ujian Akhir Sekolah hampir selesai. Seorang wali kelas, masih kebingungan, karena ada satu siswa laki-laki, sampai hari terahir UAS, tidak ada kabarnya. Murid yang satu ini entah pergi kemana. Absensi daring tak pernah ia lakukan. Pelaksanaan UAS online pun tak dikerjakan. HP nya tidak bisa dihubungi. Komunikasipun putus total.
Pada akhirnya, sang wali kelas datang ke rumahnya. Ia mendapati sang nenek sedang kebingungan. Ia sangat susah memikirkan cucu yang satu ini. Bagi neneknya, sekolah tanpa tatap muka dengan gurunya di sekolah, memang menjadikan banyak efek yang timbul. Apalagi bagi siswa yang tidak mendapat pantauan khusus dari orang tuanya.
Tak lama kemudian guru wali kelas itu dihubungi orang tua siswa lewat aplikasi Whatsapp, yang kemudian disambung dengan telepon dari negeri seberang. Ibu siswa tersebut sekarang bekerja di Singapura sudah lima tahun.
“Ibu, tolong, bagaimana caranya agar anak saya tetep bisa sekolah.”, kata sang ibu lewat jaringan telepon seluler. “Saya sedih sekali kalau dia berhenti sekolah. Jauh-jauh dari Indonesia bekerja di luar negeri, hanya untuk anak bu. Tolong ibu, bujuk kembali agar dia mau sekolah lagi.”
Suara perempuan itu parau, sambil terisak. Ia sangat menginginkan anaknya kembali ikut kegiatan di sekolah. Ia sangat takut anak pertama dari dua bersaudara itu ikut pergaulan yang tidak baik. Sementara sang nenek di rumah sudah tidak sanggup lagi mengingatkan cucunya.
Sejak itu, ibu wali kelas tak bosan-bosan menghubungi siswa tersebut. Beberapa kali si siswa tidak mau datang ke sekolah. Alasannya malu bertemu ibu guru. Padahal ke sekolah salah satunya untuk mengambil lembar soal, untuk ikut UAS susulan.
Ibu wali kelas bertanya-tanya, apa penyebab yang menjadikan dia malu untuk menemui dirinya. Padahal ibu wali kelas sudah memberikan toleransi yang luar biasa kepada siswa tersebut, termasuk kelonggaran untuk ikut tes kenaikan kelas.
“Maaf bu. Saya sudah bertatto. Saya malu bertemu dengan ibu guru. Saya sudah tidak pantas lagi menjadi anak sekolah. Saya mau keluar saja bu…”
Ibu wali kelas terperanjat. Betapa kagetnya ibu wali kelas saat itu. Dia anak rajin, beberapa kali tatap muka tidak pernah menunjukan kenakalannya, baik kepada teman-temannya, maupun kepada guru-gurunya.
“Kenapa kamu sampai bertatto segala? Kamu masih muda, tubuhmu bagus. Kamu punya prestasi. Maumu apa?”, ujar wali kelas.
“Aku kecewa dengan orang tuaku, Bu. Aku anak haram. Ibuku ternyata selingkuhan laki-laki yang sudah mempunyai anak istri sampai hamil, dan lahirlah aku.”
Baca Juga : Refleksi atau Lailatul Ijtima?
Ibu wali kelas kaget. Ia tidak mengira ketidakikutsertaan siswa ini dalam kegiatan sekolah ahir-ahir ini ternyata disebabkan penilaian dia terhadap perilaku orang tuanya di masa lalu.
“Tidak ada anak haram. Semua anak lahir sama. Tak ada alasan untuk menyalahkan orang tua. Tugasmu sekarang belajar saja. Kasihan ibumu sudah lima tahun di luar negeri, hanya untuk kesuksesanmu.”
Setelah dibujuk dengan berbagai cara, akhirnya ia mau sekolah lagi. Ia juga ingin membuang tattonya yang baru di buat dua bulan lalu itu.
“Sebenarnya aku kasihan dengan ibuku, makanya kemarin aku nyambi kerja bu. Aku ingin membantu ibuku. Namun kadang, hatiku sakit jika ingat masa lalu ibuku….”
Ibu wali kelas itu diam. Ada rasa kasihan mendalam terhadap siswa ini. Urusan siswa di sekolah, baik yang berprestasi maupun yang bermasalah, memang sangat erat hubungannya dengan peranan orang tua. “Biyung polah, anak kepradah“, kata pepatah Jawa.
Saat memberikan lembaran-lembaran soal UAS, ibu wali kelas berpesan,” urusanmu sekarang sekolah, Nak. Tidak perlu memikirkan urusan lain. Ibumu sanggup memenuhi kebutuhan sekolahmu.”
Siswa itu, menyetujui apa yang dikatakan sang wali kelas.
*) Ketua Tanfidziyah NU Ketenger, Baturraden.