Di belakang FSU terdapat shelter untuk orang-orang yang homeless. Kebetulan, salah satu coffe shop tempat nongkrong favorit saya berada tak jauh dari shelter. Saya sering kasihan melihat orang-orang homeless tersebut meski kebutuhan dasar mereka pada dasarnya dipenuhi oleh pemerintah.
Saya akui, Amerika dalam hal politik luar negeri memang brengsek tapi kepada warganya mereka cukup beradab. Setidaknya, masyarakat yang berada pada lapis paling bawah terjamin makan, hunian dan juga kesehatan.
Yang membuat saya kasihan adalah menyadari betapa kesepian hidup mereka. Shelter hanya boleh ditempati menjelang malam hingga pagi. Niatnya baik, biar mereka bisa mencari kerja atau apapun dan tidak hanya bermalas-malasan di shelter. Namun yang sering saya amati adalah beberapa dari mereka duduk menyendiri, melamun menunggu malam tiba.
Banyak dari mereka sudah tua, mungkin mereka sudah terputus hubungannya dengan anak atau sanak famili lainnya. Di Amerika kekerabatan antara anak-orang tua memang tidak sekuat di Indonesia atau asia pada umumnya.
Sore itu, saya menawarkan dan membelikan kopi kepada seorang homeless yang sudah tua. Karena saya ingat, dari pengalaman saya berinteraksi dengan anak-anak jalanan di Bandung saya menyadari bahwa yang anak-anak jalanan butuhkan adalah kasih sayang, bukan sekedar uang. Atau dengan kata lain, yang anak-anak butuhkan adalah masa kanak-kanak mereka.
Kalau kita kasih uang ke anak-anak jalanan, boleh jadi uang itu hanya dinikmati oleh orang tua atau preman atau siapapun yang “mengkaryakan” mereka. Oleh karena itu, alih-alih memberi uang saya lebih suka mendatangi orang tua si anak jalanan, lalu memberi orang tua mereka uang yang sepadan dengan “penghasilan” si anak selama sehari atau setengah hari, agar mereka mengizinkan anak-anak nya kita ajak main. Biasanya saya lalu ajak main ke kebon binatang atau sekedar taman lalu lintas. Karena sekali lagi, yang anak-anak jalanan perlukan adalah masa kanak-kanak mereka.
Baca Juga : Pelayanan Buruk Rumah Sakit
Oleh karena itu, saya membelikan kopi kepada homeless tua tadi dengan tujuan untuk mengajak berbincang. Karena boleh jadi, mereka yang kesepian sebenarnya tidak memerlukan uang (karena basic need mereka setidaknya telah dicukupi pemerintah Amerika) melainkan teman. Sekedar kawan berbagi.
Namanya Kevin, imigran dari Irlandia. datang ke Amerika tahun 1951. Kalau dia datang saat kanak-kanak usia 10 tahun berarti usia dia sudah 73 tahun. Dia mengaku punya 3 anak, dua diantaranya bekerja di army dan marine (tambah lagi satu cerita bagaimana seorang anak bisa menelantarkan orang tua).
Kejutan pertama datang ketika saya bercerita bahwa saya graduate physics student, dan dia bertanya tentang Higs Boson (Oh my God. How does he know?) Teman saya memang pernah cerita ada homeless yang menghabiskan hari-harinya di perpustakaan. Bisa jadi ini adalah homeless yang kawan saya ceritakan.
Dan dia memang cerita bahwa dia menghabiskan hari-harinya di perpustakaan. Kami menghabiskan sore itu dengan berbincang banyak hal, 25 persen tentang fisika. Sesekali perbincangan kami terhenti ketika musik yang diputar di coffee shop memainkan old song, nampak dia bernostalgia dengan masa lalunya.
Selepas puas berbincang, dia mohon diri sambil meminta alamat email. Saya pun memberi email saya sambil menjanjikan another time for coffee talk.
Amerika memang penuh cerita, nggak heran negara ini maju dalam hal sains, homeless nya aja ngerti fisika.