Sosok  

Enny Arrow Novelis Paling Banal di Indonesia

Saya tahu nama pengarang ini ketika masuk kamar kos seorang kawan. Dari pintu setengah terbuka saya melongok ke dalam. Ia nampak tengah asyik membaca buku sambil tiduran. Melihat saya, mendadak buku itu disembunyikan dibawah bantal; seperti orang kaget dan salah tingkah.

Saya sebenarnya senang melihat ia membaca dan merasa tidak enak telah membuyarkan konsentrasinya. Terdorong rasa ingin tahu, saya bertanya buku yang sedang dibacanya. Dengan rasa enggan ia menampakkan buku tipis karya Enny Arrow.

Membaca nama penulisnya semula saya mengira buku terjemahan. Begitu membalik halaman pertama saya tersentak; ada “novel” terjemahan dicetak stensilan. Saya memeriksa halaman kolofon, tidak ada keterangan judul asli buku tersebut dalam bahasa asing, juga penerbitnya. Saya lalu membaca sambil lalu… olala.

Saya bertanya dari mana ia mendapatkan novel belepotan asmara itu? Beli di shopping, sahutnya. Rupanya kawan ini pembaca Enny Arrow yang terhitung fanatik, sudah mencapai level ketagihan.

Siapa tak kenal penulis bernama asli Enny Sukaesih, novelis paling banal di Indonesia itu? Dari semua pengarang jurusan esek-esek ia pastilah empunya. Rasanya tak ada pengarang lain yang lebih lihai menggambarkan adegan-adegan kasmaran melebihi pengarang kelahiran Hambalang, Bogor, tahun 1942 itu.

Baca Juga : Selamat Jalan Umi Sri Mulyati, Wanita Pengamal dan Peneliti Tarekat

Ia punya teknik jitu melabur ceritanya dengan menyebut tatacara lelaki mentorpedo pasangannya. Dalam semua novelnya, tanpa kecuali, adegan itulah alfa-omeganya.

Membaca Arrow tidak dibutuhkan syarat apa pun selain saat membaca novelnya seseorang harus berada dikamar sendirian. Dalam keadaan seperti itu pembaca merasa terlibat dalam cerita seraya membayangkan pelakunya adalah mereka sendiri.

Getaran cerita akan langsung masuk dalam gejolak perasaan yang meledak liar. Arrow lihai menyebut detail perabot manusia yang bersifat rahasia dan dengan begitu pembaca akan tergoda untuk terus membaca sampai kepontal-pontal ditempat tidur mereka.

Di masa jayanya, sepanjang dekade 1970-an hingga 1980-an, ia tergolong penulis novel paling produktif. Dalam dua dekade itu ia telah menghasilkan tidak kurang dari 4 lusin novel. Ceritanya dari itu ke itu juga. Yang berbeda hanya lokasi dan protagonis.

Meski begitu penggemarnya, umumnya pelajar dan mahasiswa, selalu menunggu hikayat baru darinya. Novel esek-esek itu rata-rata per judulnya tidak lebih dari 50 halaman. Tipis. Foto sampulnya, kadang bintang film lokal, langsung memberi getaran hebat kepada pembaca.

Yang mengagumkan Enny Arrow konsisten dalam jalurnya. Ia tidak mengubah gaya bercerita bahkan sampai pensiun.

Ini berbeda, misalnya, dengan Motinggo Boesje. Boesje mulanya dikenal pengarang novel spesialis libido. Ia telah memulainya sejak terbit Hari Ini Tak Ada Tjinta (1963).

Dalam usia tua Boesje mengubah hikayatnya. Ia mungkin merasa sudah lelah dan tiba saatnya “bertobat”. Tahun 1985 terbit novelnya Sanu, Infinita Kembar. Dalam karya yang disebut HB Jassin novel mistik itu Boesje menggabungkan infinita pertama (ego) dengan infinita kedua (kreatif) sebagai modal menjadi manusia paripurna.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *