Esai  

Ronggeng Dukuh Paruk dan Suara Penyintas Kekerasan Pasca G30S

Kekerasan Pasca G30S acap kali diabaikan dalam penceritaan tragedi G30S. Kematian jenderal-jenderal -tanpa mengurangi bela sungkawa penulis pada mereka- lah yang terus didengungkan sebagai bukti kebiadaban Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal jumlah warga sipil yang disiksa dan dipenjara tanpa proses pengadilan sangat banyak. Menurut Geoffrey B. Robinson dalam karyanya Musim Menjagal, setengah juta warga sipil dibunuh dan sejuta lain dipenjara dalam huru-hara pasca G 30S.

Ronggeng Dukuh Paruk dan Kegetiran Sejarah

Ahmad Tohari yang merupakan penulis dengan misi membela kaum papa dan terpinggirkan, menangkap salah satu scene paling getir dari kehidupan bangsa Indonesia ini. Ia menulis Ronggeng Dukuh Paruk didasari pengalaman getirnya melihat para petani kecil, seniman tradisional, pedagang, dan banyak warga yang tak tahu apa-apa dibunuh di depan matanya. Pengalaman getir penulis asli Banyumas ini ia lukiskan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.

Ronggeng Sebagai Penarik Massa

Novel ini bercerita mengenai kehidupan ronggeng bernama Srintil di Dukuh Paruk, dukuh yang melarat dan amoral namun masih kuat dalam menjaga tradisi nenek moyangnya yang bernama Ki Secamenggala. Dengan tarian erotis dan daya magisnya, Srintil menjadi ronggeng terkenal di daerahnya. Kehadirannya menarik banyak pasang mata untuk menonton. Peluang ini ditangkap oleh propagandis yang menurut penulis merupakan kader PKI bernama Bakar.

Bakar selalu mengundang Srintil dan kawan-kawannya untuk manggung di setiap rapat massal yang diadakannya. Pada suatu rapat, suasana memanas dan berakhir pada perojengan padi-padi milik petani di sawah.

Merasa ada yang tidak beres, Srintil dan kawan-kawannya tidak bersedia lagi berkomplot dengan Bakar dan massanya. Namun Bakar yang merupakan propagandis ulung tak patah arang. Ia melakukan adu domba antara warga Dukuh Paruk yang begitu menghormati Ki Secamenggala dengan petani. Ia menyuruh orang untuk merusak makam pusat kebatinan warga Paruk dan menaruh caping di area pemakaman keramat itu. Warga Dukuh Paruk kesetanan dan rombongan ronggeng sepakat untuk berkomplot dengan Bakar demi membalaskan sakit hati mereka pada pemilik caping yang telah menghina mereka itu.

Dukuh Paruk Jatuh ke Titik Nadir

Dukuh Paruk yang polos kena amuk sejarah. Pada 30 September 1965, terjadi pembunuhan di Jakarta sana. Keadaan mencekam sampai di Dukuh Paruk yang menyendiri. Srintil mendapati sikap warga di luar Dukuh Paruk kepada warga-warga pedukuhan tersebut ganjil. Ia yang tidak tahu-menahu bertanya ke kantor polisi. Bagai ikan mendekati bubu, Srintil yang masuk dalam daftar orang dicari polisi justru datang sendiri ke kantor polisi. Dukuh Paruk kini kehilangan dutanya.

Nestapa Dukuh Paruk tak selesai di situ. Pada suatu malam, pedukuhan itu diamuk massa dan dibakar habis. Dukuh tersebut kian terisolasi karena masa lalu mereka yang pernah dekat dengan Bakar dkk.

Nasib Srintil di Penjara Darurat: Potret Nasib Tapol

Srintil ditahan suatu penjara darurat. Ruangannya sempit dan menampung begitu banyak orang. Suatu saat ada pemanggilan sejumlah nama orang yang diangkut entah ke mana. Letupan senjata api juga sering kali terdengar dari luar penjara yang over capacity tersebut. Orang-orang yang dipanggil tadi tidak kembali, entah ke mana.

Gambaran kegetiran korban kekerasan pasca-G 30S juga dipotret ketika penulis bercerita masalah Rasus, teman sepermainan Srintil yang jatuh cinta kepada ronggeng cantik itu namun cintanya patah setelah pujaan hatinya didaulat sebagai ronggeng yang merupakan kepunyaan semua lelaki. Ia kabur dan nasib memilihnya menjadi tentara.

Rasus ambil bagian saat gejolak G 30S sedang berkecamuk. Ia menjadi penjaga penjara darurat. Ia diceritakan mengalami kurang tidur karena carut-marutnya keadaan. Ia sering kali tak tega melihat manusia dalam jumlah banyak dikurung dalam satu ruangan sempit.

Ketika mendapat cuti, ia berkesempatan pulang kampung dan menyaksikan tanah airnya luluh lantak karena berurusan dengan geger 65. Ia sempat kaget dan marah namun tak dapat berbuat apa-apa. Ia kemudian diamanahi Sakarya untuk mencari di mana Srintil ditahan. Ia berhasil menemuinya meski tak sanggup berucap sepatah katapun.

Baca Juga : Dalil-dalil Ronggeng Dukuh Paruk

Trauma Berkepanjangan

Srintil berhasil bebas dari penjara darurat tersebut tanpa tahu apa yang dia perbuat namun merasa bersalah dan mengalami trauma berkepanjangan. Meski ia selamat lahir, namun batinnya terguncang hebat pasca penahanannya. Ia juga mendapat stigma negatif karena berstatus eks-tahanan politik.

Efek Domino Penulisan Ronggeng Dukuh Paruk

Ketika ditemui sebulan lalu, Ahmad Tohari menjelaskan bagaimana ia mendapat banyak masalah karena berani bersuara lewat novelnya tersebut. Apalagi, novel ini rilis pada dekade 80-an di mana ORBA tengah jaya-jayanya.

Ia sempat diinterogasi aparat karena menulis novel ini. Beberapa kali rumahnya di Jatilawang didatangi aparat pula. Namun, ia tertolong karena kedekatannya dengan KH. Abdurrahman Wahid ad-Dakhil atau lebih dikenal dengan Gus Dur. Ketika Tohari ditanya siapa yang berani menjamin bahwa dirinya tidak terlibat dengan PKI, ia lantang berkata bahwa Gus Dur mampu menjaminnya.

Ia juga memberi pengakuan bahwa novel pertama dalam triloginya itu sebenarnya hanya topeng untuk tidak berterus-terang akan bercerita mengenai Geger 65 yang begitu memilukan. Kisah cinta Rasus-Srintil, tetek bengek dunia ronggeng, dan tragedi tempe bongkrek hanya batu loncatan menuju inti cerita.

Ahmad Tohari mengaku bahwa ia sendiri tak setuju dengan banyak pemikiran komunisme. Namun salah juga jika para anggota dan orang-orang yang terlibat di dalamnya dibunuh secara keji tanpa pengadilan. Hal tersebut tentu menodai sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Hatinya merasa teriris ketika menyaksikan banyak petani miskin, penari ronggeng, pedagang kecil, gembala kambing, digelandang dan ditahan tanpa tahu apa salah mereka.

Suara Kemanusiaan Yang Tak Terbatas pada Korban Pasca G30S

Kepedulian Ahmad Tohari terhadap wong cilik yang jadi korban sejarah bukan sebatas pada para tertuduh PKI sebagaimana yang ia suarakan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Kubah, melainkan pula orang-orang yang terjebak menjadi militan DI/TII yang sempat pula menggegerkan republik yang masih belia. Ia menyampaikannya pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air. Pada novel tersebut pula ia mengkritik PKI secara tajam. (*)

Penulis: Rifqi Iman SalafiEditor: Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *