Bapak saya adalah seorang desainer sepatu di suatu perusahaan. Buat masyarakat ekonomi menengah ke bawah di jamin tahu deh sama brandnya. Dulu sering banget muncul di tv. Artisnya gak kaleng-kaleng, Marshanda. Jelas lah, memang sepatu sekolah terlaris saat itu. Kini perusahaan itu diambang kebangkrutan. Loh kok bisa?
Cara berbisnis perusahaan sepatu itu sekilas terkesan simple. Hanya mengekor tren yang berkembang. Sebagai desainer sepatu bapak nyaris selalu diminta untuk menjiplak desain dari sepatu dalam atau luar negeri yang lagi laris. Setelah itu sepatu itu dijual dengan harga lebih rendah. Dengan tampilan yang nyaris mirip, tapi harga lebih rendah menjadikan sepatu itu pada akhirnya booming di pasaran.
Tidak pernah ada anggaran untuk riset. Bapak saya tidak pernah dikirim untuk belajar atau mengembangkan diri lewat riset. Paling mentok bapak dibeliin sepatu adidos atau niko yang lagi trend untuk dijiplak. Strategi itu pada akhirnya seperti kanker yang membunuh perlahan. Para kompetitor pun menerapkan strategi yang sama. Terutama home industri dengan harga lebih murah. Akhirnya sepatu dari perusahaan itu lambat laun kehilangan peminat. Semua itu terjadi karena tidak ada proses belajar di perusahaan tersebut.
Dalam skala yang lebih besar begitulah pendidikan kita. Kegagalan terbesarnya selama ini adalah pendidikan kita tidak berhasil mencetak generasi yang terus belajar. Dari jaman dulu sampai sekarang masyarakat kita terlanjur menganggap bahwa ketika lulus dari sekolah berarti berhenti belajar.
Baca Juga : Sisi Gelap Pendidikan di Finlandia
Ketika orang-orang tidak berkenan melanjutkan studi formalnya, mereka selalu berdalih sudah lelah belajar. Berhenti belajar untuk bekerja. Di sini lah kegagalan pendidikan kita. Orang-orang kita terlanjur menganggap bahwa ketika tidak di sekolah berarti tidak perlu belajar dan ketika bekerja berarti tidak perlu belajar. Mirip kan sama gambaran perusahaan sepatu di atas.
Pertama, bahwa belajar tidak harus di sekolah. Ketika berhenti sekolah bukan berarti berhenti belajar. Ada banyak cara dan tempat belajar saat ini, apalagi didukung dengan teknologi. Kedua, bahwa belajar dan bekerja itu terkait satu dan yang lainnya. Dalam banyak situasi pekerjaan selalu menuntut kita untuk terus belajar.
Lantas kenapa kita berada pada pemahaman yang demikian? Ya sebab pendidikan kita secara tidak langsung memang mengajarkannya demikian. Menurut riset nih, orang Indonesia cenderung berhenti belajar ketika selesai sekolah ya karena sekolah sendiri membiasakan bahwa belajar itu untuk lulus ujian. Belajar untuk masuk sekolah dan lulus dari sekolah. Pendidikan kita gagal untuk membuat manusia pembelajar sepanjang hayat.
Kondisi menyeramkan ini semakin diperburuk ketika guru sebagai garda terdepan juga punya pemahaman demikian. Meskipun kurikulum kita terus berubah ke arah yang lebih baik, nyatanya masih banyak guru yang hanya belajar karena dipaksa, ditugaskan, demi sertifikat, demi predikat, demi lulus tes ini itu dan lainnya. Lah kalau gurunya saja masih berpaham seperti itu, gimana mau mencetak generasi pembelajar sepanjang hayat?
Baca Juga : Ronggeng Dukuh Paruk dan Suara Penyintas Kekerasan Pasca G30S
Cara mengajar guru juga tidak signifikan berubah. Saya kira setelah menghilang 2 tahun dari sosmed, saya menemukan konten matematika yang mengajarkan konsep dengan benar, tapi nyatanya tidak berubah. Di sana-sini masih banyak rumus cepat. Di tiktok yang FYP ya masih rumus cepat dan gimana menyelesaikan soal-soal ujian. Apalagi sekarang pedagogical content knowledge semakin sulit ditemukan.
Masalah ini dalam jangka pendek memang tidak terasa. Tapi dalam jangka panjang akan menjadi kanker yang mengarahkan kita ke Indonesia cemas 2045. Ketika masyarakat sudah berhenti belajar maka mereka tidak akan ada inovasi yang dilahirkan. Kita hanya akan menjadi bangsa yang terus-menerus mengekor.
Kita pengguna sosmed paling banyak, tapi tak satupun sosmed bikinin kita yang populer. Kita pengguna motor paling banyak, tapi tak satupun motor yang berhasil kita buat. Kalaupun pada akhirnya berhasil dibuat, sering kali itu lebih pas dikatakan sebagai tiruan semata. Sejak Indonesia merdeka, sejak temuan terbesar masyarakat kita yaitu kapal pinisi, nampaknya tidak ada lagi inovasi yang benar-benar menggemparkan.
Lantas apa solusinya? Wah kalau ngomongin ini jauh lebih ribet. Ruwet. Ada banyak faktor penyebab yang mesti diurai satu-satu. Dan karena saya tidak dibayar untuk itu, maka biarlah itu ditangani oleh orang-orang yang sudah kita bayar, yang menduduki kursi dewan. Tapi bisa nggak mereka berpikir secata epistemology begini? Kalau bisa, kira-kira mau nggak? Hahaha..