Saya bukan peminum kopi, tapi saya menikmatinya sangat..
Bertemu kopi seperti bertemu dengan seorang yg dihormati. Kita menyapa dengan hangat, menikmati obrolan hingga akhir lalu mengucapkan selamat tinggal. Menanti-nanti pertemuan berikutnya tapi tak pernah terburu-buru.
Saya punya kenangan hangat dengan kopi. Nenek suka membuat kopi sendiri. Dia yang menyangrai, kakek yg menumbuk dengan lumpang besar di rumah mereka.
Saya, membantu mengayak dengan ayakan bulat. Lalu sesekali mengambil sisa kopi yg masih kasar untuk dikunyah. Sisa yg masih belum lembut itu sejatinya akan dimasukan lagi kedalam lumpang.
Rasa kopi itu nikmat sekali, pahit-pahit gurih dan wangi. Seisi rumah nenek juga harum bau kopi.
Saya lalu punya kebiasaan mengunyah kopi. Satu hari satu sendok. Baru berhenti setelah kuliah, karena jauh dari kopi tumbuknya nenek.
Baca Juga : Kopi, Sehitam Jelaga dengan Rasa Aneh
Setelah itu saya berpisah begitu saja dengan kopi. Kakek dan nenek saya meninggal, tak ada lagi yang membuat kopi.
Akan tetapi ketika hamil, saya tiba-tiba ngidam kopi. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak makan kopi. Terutama di trimester akhir.
Pernah suatu kali tengah malam saya kehabisan stok kopi, lalu saya menyuruh suami meminta kopi bubuk ( bukan sachetan) dari angkringan di depan rumah kontrakan kami di Jogja.
Ndilalahnya dia buka hingga dini hari. Kalau nggak, mungkin saya tidak bisa tidur sampai pagi karena ingin makan kopi gak kesampaian.
Saat hamil anak kedua, saya kembali ngidam makan kopi. Betapapun katanya kopi nggak baik untuk wanita hamil, saya gak bisa menahan diri. Kata suami, nggak apa apa, yang penting bahagia.
Setelah itu hubungan saya dengan kopi kembali normal. Saya menikmati setiap pertemuan, tapi tak perlu mencari-cari cara untuk bertemu..
Jika dia hadir, maka itu adalah takdir.