Ketika Maulid Nabi

Maulid Nabi sudah lewat, tetapi kerinduannya masih terasa. Cerita Maulid Nabi ku bersama Bapak hampir selalu dihias “perang dalil”.
Wes pokoke bid’ah lah, Pak, perayaan maulid nabi itu. titik! Hari raya Islam itu cuman dua! Ghirah Ke kafah an yang kurasakan sepertinya paling benar saat itu.

Padahal, dahulu, setiap dua belas Rabi’ul Awal, Bapak selalu mengucapkan selamat hari lahir kepadaku sambil mencium pipi kanan dan kiri. Aku senang, hari ulang tahunku ada dua.

“Itulah mengapa kamu Khabibah.” Kata Bapak suatu hari. Pun, beliau sering memanggilku dengan nama itu kalau bukan Molid. Ibu yang menyarankan nama ku Aulidya, ketika Bapak akan memberi Maulid untuk ku.

Seiring berjalan waktu, Bapak masih memberiku ucapan dan ciuman, aku masih senang menerima ciuman dari Lelaki terganteng di dunia itu. Ciuman di pipi kanan dan kiri, dengan brewok nya yang terasa 😀 , aah aku rindu saat itu. Tapi, aku selalu tak setuju dengan cara Bapak menganjurkan ku memperingatinya.

“Kata perayaan dan peringatan hanyalah istilah, esensi dan niatan untuk memperingatinya itu yang terpenting.” Kata nya.
“Jika kita mencintai seseorang tentu kita akan selalu tahu dan memperhatikan segala sesuatu yang berkaitan dengannya bukan?”
“memperingati Maulid nabi sebagai bentuk kecinta-an kita kepada beliau Shollallohu’alaihi wassalam”.
Aku masih tetap terdiam.
“Ya, tapi tak usah berlebihan deh, kebanyaken sholawat, pake sayyidina lagi, Rasulullah saja tak suka dipuji”, sergahku merasa paling benar.
“Rasulullah memang tak suka dipuji, tapi kita yang mencintainya akan menempatkan beliau SAW di tempat yang sangat istimewa bukan?”

Aku keluar ruang diskusi dengan wajah cemberut, masih tak menerima.
“Apa lagi, Pak?” Aku dengar suara Ibu, menemui Bapak.
“Biasa, scientist ya seperti itu, biarlah, seiring berjalan waktu, dia akan belajar, semoga dia akan selalu belajar, jika sekarang dia baru membaca buku sekian , bertambahnya umur, dia akan bertambah ilmunya…”
“Aamiin…” terdengar Ibu mengamini.

Aku tersenyum disebut “scientist”, tapi masih tak bisa menerima pendapatnya.
Masih terus dengan kebiasaannya, bersholawat minimal seribu per hari. Sampai aku jengah, Ah berlebihan, rutukku dalam hati. Seolah tahu, suatu hari, Bapak mengatakan sesuatu.
“Membaca sholawat adalah bentuk kecintaan kita terhadap Rasulullah SAW, Maulid Nabi itu istimewa, kita pantas menjadikannya sebagai hari yang spesial”
“Alhamdulillah, Allah sayang, dengan banyak bershalawat, Dia menghadiahi Bapak seorang Khabibah, dengan shalawat, Rasulullah SAW dan para sahabat mendatangi Bapak saat i’tikaf di mimbar Masjid Al Barkah”.
Aku terdiam saat itu, hal yang tak masuk logika ku.

Sekarang, aku membenarkannya, Bapak ku. Kau benar, Bapak, aku kangen saat itu. Terima kasih untuk Habibah yang kau berikan, aku menemukan bahwa orang-orang mencintaiku dan aku merasa istimewa di setiap maulid Nabi. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah ke hadirat junjungan Nabi agung Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan pengikutnya…aamiin

To Dearest Habibi, Bapak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *