Ratu Adil, Satria Piningit dan Zaman Kalasuba

Namanya Ratu Adil sudah pasti sosok pemimpin yang berwibawa arif bijaksaa berlaku adil kepada rakyatnya. Pemimpin yang ditunggu kehadirannya membawa perubahan menuju masyarakat yang adil makmur dan sejahtera.

Ratu Adil dalam khasanah tradisi sejak jaman dahulu menjadi sosok pemimpin yang sering disebut dalam naskah naskah sastra lama seperti dalam Kitab Jangka Jayabaya yang ditulis Raja Kertanegara.

Banyak pendapat dari berbagai kalangan dengan pisau analisis dan tafsir sesuai dengan disiplin ilmu baik ilmu sastra, kekuasaan, ilmu masa depan (futurologi), politik, agama dan ilmu ilmu lainnya.

Ada yang berpendapat Ratu Adil adalah sosok pemimpin perempuan. Hal itu berkaitan dengan kata: “Ratu” berkonotasi gender atau berjenis kelamin perempuan.

Tidak salah yang berpendapat demikian, oleh karena di bumi Nusantara banyak perempuan menjadi pemimpin Kerajaan. Seperti Sri Isyana Tinggawijaya Kerajaan Medang, Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga atau Kerajaan Holing, Ratu Dyah Tulodong Kerajaan Lodoyong.

Kemudian Ratu Dyah Gayatri dan Tribhuana Wijaya Tunggadewi Ratu Kerajaan Majapahit, Ratu Kalinyamat Kerajaan Kalinyamat, Ratu Ultanah Alam Barisyah Kesultanan Perlak Aceh dan Shulyanah NahrIsyah Kerajaan Samudra Pasai.

Akan tetapi banyak pula pendapat yang menyatakan Ratu Adil adalah sosok pemimpin laki laki dengan argumentasi bahwa kebanyakan atau mayoritas Kerajaan Kerajaan yang pernah dan masih bertahan sampai hari ini seperti Kasultanan Yogyakarta Hadningrat Kasunanan Surakarta dipimpin seorang Raja.

Terlepas apakah figur Ratu Adil seorang laki laki atau perempuan, pembicaraan tentang Ratu Adil telah ada sejak jaman dahulu kala bukan hanya kepercayaan masyarakat Jawa melainkan juga dianut oleh agama dan kepercayaan yang ada di dunia ini.

Dalam agama Islam dikenal nama Imam Mahdi, Mesiah (Nasrani), Catur Yoga (Budha), Cargo (Papua) dan nama nama lainnya.

Satria Piningit

Satria Piningit dalam bahasa Jawa mengandung arti seorang ksatria yang disembunyikan. Sedang istilah Satria Piningit pada jaman Republik adalah calon presiden yang akan menjadi pemimpin NKRI dimasa yang akan datang yang disembunyikan jaman.

Ratu Adil adalah seorang pemimpin yang memiliki wahyu keprabon (wahyu sebagai raja/presiden ) menjadi penyemat dari kemelut sosial. Malapetaka alam serta mengganti tumbangnya pemimpin lama yang otoriter bengis dan kejam menuju masyarakat adil makmur dan sejahera.

Budak Angon (Satria Piningit) Menurut Naskah Uga Wangsit Siliwangi

Satria Piningit atau Ratu Adil tidak hanya terdapat dalam Kitab Jangka Jayabaya akan tetapi tertera dalam naskah Uga Wangsit Siliwangi dengan sebutan Budak Angon/ Bocah Angon atau Pemuda Pengembala.

Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.”

“Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala; Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng, tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui, tapi akan menemui banyak kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang menjadi sejarah baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”

Nu garelut laju rareureuh, laju kakara arengeuh, kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!”

“Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari Budak Angon, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi Budak Angon sudah tidak ada, sudah pergi bersama Budak Janggotan, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!”

Zaman Kalasuba

Era Harmoni sebagaimana digambarkan dalam Kitab asrar gubahan Sunan Giri Pedapen yang dikenal dengn Sunan Giri 3 (1618 M) kemudian digubah dan ditambahkan oleh Pangeran Wijil Kadilangu (Kadilangu II) sekitar tahun 1741-1743 M.

Masyarakat Umum menegenalnya dengan Ramalan Jayabaya atau Jangka Jayabaya. Dalam tulisan itu terdapat tiga babak kehidupan manusia yaitu Anderpati?Kala Wisesa (masa permulaan) atau Kala Tida menurut R Ronggowarsito . kemudian Kala Bendu, atau masa kekacauan (Chaos) dan ketiga Kala Suba (Pemulihan/Pencerahan).

Pada masa Kala Suba akan hadir seorang tokoh /sosok manusia yang akan menjawab persoalan-persoalan yang terjadi pada masa sebelumnya masa Kala Bendu. Tokoh ini akan memberikan harmoni, menjadi penyelaras atas berbagai kekacauan (chaos) yang terjadi, memerangi penjajahan, melawan penindasan, kesewenang-wenangan, memberi pencerahan spiritualitas da moralitas.Dalam versi Jayabaya sosok/tokoh tersebut dikenal dengan nama Sang Ratu Asmarakingkin atau Ratu Amisma atau dalam versi Ronggowarsito dikenal denga nama Satrio Piningit.

Sosok/karakter Satrio Piningir juga terdapat dalam Kitab Muasrar jauh sebelum gubahan Giri Pedapen (1618). Kitab Muasrar jauh lebih awal dari naskah Ramalan Jayabaya ataupun Kitab Asrar Pangeran Wijil. Dalam Kitab Muasrar sosok Satrion Piningit dikenal dengan sebutan Tunjung Putih Semune Pudhak Kasungsang.

Bahkan dalam catatan kebudayaan Kerajaan Pajajaran dikenal dengan Uga Wangsit Prabu Siliwangi dalam bahasa Sunda ada kesamaan dengan Ramalan Jayabaya dikenal dengan nama Ratu Adil.Sosok ini juga disebut Budak Angon. Budak Angon dalam bahasa Sunda memiliki padanan dengan Gembala. Secara Sosial , sosok yang tak dikenal dilingkungannya.

Masa Kalasuba adalah masa Harmoni kehidupan manusia mulai menampilkan kehidupan yang susungguhnya, orang-orang yang benar akan tampil menjadi pemimpin dan orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan akan lenyak perlahan, pemimpin akan melayani rakyatnya, agama akan menjadi petunjuk hidup dlam kehidupan sehari- hari., ekonomi menjadi maju dan makmur, keamanan terjamin.

Zaman Kalasuba atau zaman Keemasan.
Datangnya masa keemasan sebagai akhir kalabendu, terdapat dalam Serat Jaka Lodhang, sebagai berikut:

Sangkalane maksih nunggal jamanipun,
neng sajroning madya akir,
Wiku sapta ngesthi ratu,
ngadil pari marmeng dasih,
ing kono karsaning Manon.

Artinya:
Ciri waktu pada zaman itu, yakni pada pertengahan, dengan ciri tahun; wiku sapta ngesthi ratu. Itulah masa keadilan dan kemakmuran yang merata, demikian kehendak Tuhan.

Surat Centhini Jilid IV Pupuh 258 Tembang 1-6

Saka marmaning Hayang Sukma, jaman Kalabendu sirna, sinalinan jamanira, mulyaning jenengan nata, ing kono raharjanira, karaton ing tanah Jawa, mamalaning bumi sirna, sirep dur angkaramurka.

Artinya :
Atas izin Allah SWT, zaman Kalabendu hilang, berganti zaman dimana tanah Jawa/Indonesia menjadi makmur, hilang kutukan bumi dan angkara murkapun mereda.

Marga sinapih rawuhnya, nata ginaib sanyata, wiji wijiling utama, ingaranan naranata, kang kapisan karanya, adenge tanpa sarana, nagdam makduming srinata, sonya rutikedatonnya.

Artinya : Kedatangan pemimpin baru tidak terduga, seperti muncul secara gaib, yang mempunyai sifat-sifat utama. (note : yang diterjemahkan banyak pihak sebagai ‘satria piningit’).

Lire sepi tanpa srana, ora ana kara-kara, duk masih keneker Sukma, kasampar kasandhung rata, keh wong katambehan ika, karsaning Sukma kinarya, salin alamnya, jumeneng sri pandhita.

Artnya: Datangnya tanpa sarana apa-apa, tidak pernah menonjol sebelumnya, pada saat masih muda, banyak mengalami halangan dalam hidupnya, yang oleh izin Allah SWT, akan menjadi pemimpin yang berbudi luhur.

Luwih adil paraarta, lumuh maring brana-arta, nama Sultan Erucakra, tanpa sangakan rawuhira, tan ngadu bala manungsa, mung sirollah prajuritnya, tungguling dhikir kewala, mungsuh rerep sirep sirna.

Artinya : Mempunyai sifat adil, tidak tertarik dengan harta benda, bernama Sultan Erucakra , tidak ketahuan asal kedatangannya, tidak mengandalkan bala bantuan manusia, hanya kepercayaan/keimanan terhadap Allah SWT prajuritnya dan senjatanya adalah se-mata-mata zikir, musuh semua bisa dikalahkan

Tumpes tapis tan na mangga, krana panjenengan nata, amrih kartaning nagara, harjaning jagat sadaya, dhahare jroning sawarsa, denwangeni katahhira, pitung reyal ika, tan karsa lamun uwiha.

Artinya : Semua musuhnya dimusnahkan oleh sang pemimpin demi kesejahteraan negara,dan kemakmuran semuanya, hidupnya sederhana, tidak mau melebihi, penghasilan yang diterima.

Bumi sakjung pajegira, amung sadinar sawarsa, sawah sewu pametunya, suwang ing dalem sadina, wus resik nir apa-apa, marmaning wong cilik samya, ayem enake tysira, dene murah sandhang teda.

Artinya : Pajak orang kecil sangat rendah nilainya, orang kecil hidup tentram, murah sandang dan pangan.

Tan na dursila durjana, padha martobat nalangas, wedi willating nata, adil asing paramarta, bumi pethik akukutha, parek lan kali Katangga, ing sajroning bubak wana, penjenenganin sang nata.

Artinya: Tidak ada penjahat, semuanya sudah bertobat, takut dengan kewibawaan sang pemimpin yang sangat adil dan bijaksana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *