Siang hari, 4 Juni 2012, kujejakkan kakiku di tanah antah berantah. Celingukan aku cari penanda saat aku keluar dari kereta api cepat kebanggaan Jerman, ICE. Aku temukan tulisan “Gὃttingen” di papan seberang rel. Alhamdulillah bersyukur tidak nyasar ke kota lain, maklum pengalaman pertama ke luar.
Senyum berubah, tiba-tiba bibirku bergetar, dan gigi-gigiku gemeletuk…. tanganku mengepal, aku kedinginan!!! Hampir panik, aku segera mencari solusi, aku temukan orang-orang menuju tangga turun ke lantai bawah yang bertuliskan “Ausgang”, aku ambil handphone dan kukirim teks ke salah satu temanku yang sudah sampai terlebih dahulu di kota itu, Ratna. Aku kabarkan bahwa aku sudah sampai.
Benarlah kami bertemu di bawah, di lorong stasiun. Ratna bersama Anis, tersenyum dan memanggilku “Mbak Aulid!” Aku tersenyum, mereka memelukku dengan hangat. …
Awal menginjakkan kaki di tanah Eropa yang tak mungkin aku lupa….
Perjalanan panjang ini, bukan hanya perjalanan meraih mimpi, namun sekaligus penguatan status spiritualitasku, insyaalloh…aamiin. Aku menemukan kembali fitrahku sebagai seorang hamba NYA.
******”
Aku kusam, pudar menatap mimpi di depanku. Hampir semua temanku satu angkatan telah lulus. Dan aku masih berkutat dengan mikroskop, sampel, Haematoxylin-Eosin, parafin dan keresahan.
Aku juga tidak tahu mengapa bisa selama itu, sudah hampir 1,5 tahun, penelitianku belum kunjung selesai. Pasrah, mungkin ini memang takdir Tuhan. Mimpi-mimpiku aku setting ulang, lebih tepatnya aku tutup, dan aku kunci dalam kotak nasib, aku tinggalkan di lemari kepasrahan. Harapanku yang tertinggal waktu itu adalah menyelesaikan penelitian yang sedang kujalani, lulus dan mendaftar jadi guru Biologi, entah dimana, yang penting bisa menerapkan ilmuku.
Kujalani hari-hariku seperti biasa, berangkat pagi dan pulang sore dari laboratorium tempatku bekerja, tanpa perbedaan tiap harinya, mungkin hanya siapa orang yang datang ke laboratorium saja yang kadang berbeda, anak praktikum, para asisten praktikum, dosen yang sedang berkunjung, selebihnya sama, masuk laboratorium, memberi makan, minum mencit dan ikan di laboratorium, mengambil mikroskop, ambil preparat histologi yang sudah dibuat, mengamati sampai siang, sholat dhuhur, kembali mengamati sampai sore.
Untuk makan siang pun aku enggan, sebungkus permen dan sebotol air menemaniku. Aku sudah tidak ada semangat lagi menikmati enaknya (katanya) makanan di kantin kampus yang baru saja dibangun.
Sampai pada suatu saat, ayahku sakit, harus opname di rumah sakit. Saat aku menunggui beliau, ibuku datang, sepulang mengajar, beliau mampir ke sebuah swalayan, membeli beberapa keperluan, dan ada satu benda yang menarikku, sebuah buku “Puasa Dawud”. Buku bersampul kuning jingga, dan sepertinya tidak menarik sama sekali, aku ambil (daripada nganggur).
Ibu membelinya dari swalayan. Aku robek plastik pembungkus buku. Aku mulai membaca halaman demi halaman. Buku yang lumayan tebal, sampai aku harus melanjutkannya setiap hari saat aku naik bus menuju kampus. Aku berkesimpulan, sang pengarang juga seorang yang sudah melaksanakan puasa tersebut. Isinya sangat menyentuh, namun sayang aku bukanlah tipe pengingat kata demi kata jika sudah membaca, aku paham, aku ingat sesaat, setelah itu lupa, tapi inti tulisan aku paham benar. Tak ada alasan lagi untuk tidak melakukannya.
Dimulai tanggal 13 Juli, saat ulang tahun ayahku, aku bertekad memulainya. Apapun itu, aku tidak berpikir lagi, yang aku ambil dari buku itu “Puasa Dawud bisa membuat hidupmu berubah dan keajaiban-keajaiban hidup akan terjadi padamu”.
Aku melakukannya, awalnya, karena tekad yang kuat, puasa tidak terasa, karena memang biasa tidak makan saat seharian di kampus, sampai suatu saat aku ambruk. Pulang dari kampus aku hampir tak kuat berjalan. Dari keluar lab., naik angkot sampai naik bus, rasanya mau pingsan, keringat dingin dengan derasnya keluar, aku juga tidak tahu mengapa.
Perjalanan 1,5 jam menuju ke rumah sepertinya lama sekali, dalam bus aku hampir nggelosor, saking pusing nya, tangan gemetaran, keringat masih mengalir deras. Akhirnya aku sampai di rumah dan benar, aku ambruk, walaupun tak sampai pingsan, aku tak bisa berkata apa-apa, tak kuat, 3 hari badanku panas tinggi, aku mengigau, itu kata ibuku. Ayah dan Ibuku merawatku, aku tak ke dokter, aku tak mau.
Membayangkan sampel-sampel yang ada di lab. Rasanya ingin segera kembali ke lab. Bersyukur memiliki ayah dan ibu yang super hebat, setelah seminggu akhirnya aku sehat benar. Kembali aku lanjutkan rutinitasku di lab. dengan puasa Dawud tentunya 😉
Keajaiban dan Anugrah tak terasa, akhirnya aku lulus dengan predikat cumlaude, hampir saja tidak bisa mengingat masa studiku yang terlalu lama. Melanjutkan ke jenjang selanjutnya dan kemudian lulus dengan nilai sempurna untuk masa studi yang singkat. Mungkin itu yang dimaksud “Puasa Dawud bisa membuat hidupmu berubah dan keajaiban-keajaiban hidup akan terjadi padamu”. Sampai akhirnya aku bisa mewujudkan salah satu mimpiku, bersekolah ke luar negeri! Alhamdulillah.
Bukan hanya ilmu pengetahuan yang aku peroleh, ilmu agama bisa aku dapatkan dengan mudah di negara ini, secara streaming, aku “berguru” kepada ustad Yusuf Mansur, ustad favoritku.
Saat di tanah air, biasanya aku mengikuti tausiyah melalui channel televisi sehabis subuh. Disini, aku bisa kapan saja menonton. Aku menontonya via youtube, bersyukur dan terima kasihku untuk pengun ggah video tersebut.
Berguru kepada sang Ustad, mengingatkanku saat aku berguru kepada ayah tercinta. Bedanya, saat sang Ustad menyampaikan tausiyah-tausiyahnya, aku tidak menyangkal, “ngeyel” seperti saat aku berguru kepada ayahku sendiri.
Semua bab yang diajarkan sang Ustad, mengenai sedekah, sholawat, birrul walidain, tahajud, dhuha dan lain sebagainya, sudah aku dapatkan saat aku berguru kepada ayahku. Hanya saja waktu itu aku terlalu keras hati menerima pelajaran yang beliau sampaikan, sampai pada suatu saat dengan tengilnya aku bertanya “mana kitab yang memuat dalil yang baru saja Bapak sampaikan?” kepada ayahku saat aku mengkritisi dengan keras pelajaran yang beliau sampaikan.
Ya, seringkali aku menemukan perbedaan, antara apa yang aku terima di sekolah melalui majlis-majlis taklim yang aku ikuti dengan apa yang diajarkan ayahku dari kecil.
“Ikutilah kata hati nuranimu”. Aku ingat benar kata-kata ayahku dari sebuah hadits shahih, untuk mengikuti hati nurani dalam mempertimbangkan perbedaan dalam islam, perbedaan dalam hal amalan. Semoga rahmat Alloh SWT selalu tercurah untuk beliau, ayahanda tercinta, Bapak Muhammad Adnan… aamiin.
Dan di tanah Eropa ini aku kembali belajar, bahwa Islam itu satu, namun amalan-amalannya bervariasi. Walaupun demikian, sesama umat muslim tetaplah bersaudara. Banyak jamaah di masjid, yang aku temui selama bulan Ramadhan (karena di luar Ramadhan masjid cenderung sepi), yang memiliki perbedaan dalam amalan, seperti terlihatnya kaki saat sholat, dan gerakan-gerakan sholat yang berbeda, yang aku debatkan dulu dengan ayahku. Perbedaan itu sangat nyata.
Tak hanya atmosfer ibadah yang sangat menyejukkan hati, yang aku temui di Kota Seribu Sepeda ini, melainkan kehidupan fitrah manusia yang Tuhan berikan. Sebagian besar warga asli adalah kaum yang memeluk agama bukan Islam, bahkan aku bisa menemukan orang atheis, naturalis, atau agama “KTP”, mereka tidak begitu care dengan agama mereka, yang mereka tahu, selama mereka berbuat baik kepada sesama dan mereka tidak mengganggu atau diganggu urusannya oleh orang lain, maka hidup mereka akan baik-baik saja. Bahkan sebenarnya, mereka seperti memiliki kehidupan yang “islami”, menjaga kebersihan di tempat-tempat umum, disiplin dalam waktu, menyapa orang jika berpapasan mata, sekalipun tak kenal, membantu orang yang terlihat membutuhkan pertolongan, dan nilai-nilai yang aku temukan dan rasakan “luar biasa” seperti mendahulukan orang lain untuk lewat atau masuk ke ruangan, anak-anak dan orang berkebutuhan khusus yang mandiri. Something i feel “Subhanalloh”. Sering aku bertanya-tanya “Mengapa Tuhan tidak menjadikan saja orang-orang asli disini menjadi Muslim?” I believe He can, absolutely He can! Pertanyaan yang selalu menggelayut di pikiranku, namun aku tertegun ketika menemukan sebuah jawaban :
“Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”.
Banyak hal yang membuatku berpikir , bertanya-tanya, namun akan sangat tenteram ketika kembali kepada kalamNYA
“Dan kepada Tuhan mu lah dikembalikannya segala urusan”
Alhamdulillah, nikmat ya Alloh berikan sangat banyak, walau kadang itu tertutup karena kesusahan sesaat, berdoa agar kembali dari kefuturan adalah solusinya, dan ketika Dia “membelai” dan “mengatakan” bahwa kau tak sendiri, Aku ada bersamamu di setiap nafas dan langkah… maka tak ada kata lain yang bisa terucap, kasih sayangNYA meliputi apa yang di langit dan apa yang di bumi …
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?”