Esai  

Mistifikasi Sosial Kyai dan Habib, Tinjauan Sosiologis

“”Diantara godaan terbesar orang berilmu adalah lebih senang berbicara daripada mendengarkan”. Imam Al-Ghazali.

Dalam kultur warga NU, hampir semuanya memberikan penghormatan kepada Kyai dan Habib dengan meletakkan mereka pada posisi sosial yang lebih tinggi. Hampir seluruh warga NU meyakini, bahwa kedua sosok ini mempunyai kelebihan dalam hal ilmu pengetahuan.

Sebutan Kyai diberikan kepada seorang tokoh yang menguasai pengetahuan agama, biasanya mempunyai pesantren dan banyak santri. Sedangkan Habib disematkan kepada seorang yang dipercaya sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Husain. Data silsilah ini dicatat dan diorganisir oleh Rabithah Alawiyah.

Penghormatan kepada kedua tokoh ini mewujud dalam aktifitas keseharian, misalnya dengan selalu membungkukkan badan ketika berpapasan dengan mereka atau mencium tangan dengan harapan mendapat barokah. Bahkan saking hormatnya kepada Kyai dan Habib, putra-putri mereka sejak kecil sudah mendapatkan perlakuan spesial dalam masyarakat.

Penyematan panggilan “Gus” untuk putra kyai dan “Ning” untuk putri Kyai, diberikan sejak mereka masih dalam usia anak–anak. Penyematan panggilan ini adalah semacam privilege atau hak istimewa seorang anak yang lahir dari keluarga elit keagamaan.

Penyematan panggilan khusus ini seringkali menimbulkan segregasi atau pemisahan sosial dalam masyarakat sejak dini.

Seringkali kita temui Gus dan Ning kecil ini tidak mau bermain dengan anak-anak di lingkungan mereka dan hanya mau bermain dengan santri dari Abahnya yang tentu akan menuruti dan mengikuti semua kemauan Gus dan Ning kecil.

Bahkan ketika mereka mencoba bermain dengan sekumpulan anak – anak di lingkungan sekitar, ada kecenderungan mereka ingin mendapatkan keistimewaan dalam pergaulan diantara anak – anak ini.

Membungkukkan badan, mencium tangan, dan penyematan panggilan “Gus” dan “Ning” merupakan aneka simbol dalam aktifitas interaksi sosial. George Herbert Mead, seorang sosiolog dari Amerika, mengatakan bahwa orang sering menggunakan simbol berupa materi atau tingkah laku untuk membentuk orientasi diri mereka kepada orang lain dan mempengaruhi persepsi lingkungan.

Dengan memberikan penghormatan khusus kepada Kyai dan Habib, masyarakat membangun persepsi dirinya pada posisi yang lebih rendah dan menempatkan mereka pada posisi yang lebih tinggi atau elit.

Jika kita sering mendengar kata elit politik yang artinya adalah kelompok khusus dengan posisi tinggi dalam politik. Begitu pula dengan Kyai dan Habib, penulis menganggap kedua kelompok ini sebagai kelompok elit dalam strata sosial warga NU.

Persepsi sosial masyarakat terhadap dua kelompok elit ini, kemudian diperkuat dengan proses mistifikasi sosial. Mistifikasi adalah penyematan unsur–unsur irasional di luar nalar logika manusia kepada sebuah objek sebagai solusi atas ketidakmampuan manusia memahami objek tersebut.

Mistifikasi sosial yang disematkan kepada Kyai dan Habib menempatkan mereka sebagai “Man of Glory”. Yaitu seseorang dengan kemulyaan, membuat masyarakat memberikan penghormatan dan penghargaan yang tanpa syarat. Penghormatan dan penghargaan ini melampaui orang tua, saudara, teman, dan bahkan diri sendiri.

Mistifikasi sosial ini membuat Kyai dan Habib berperan sebagai pribadi yang sakralistik-monolitik. Merasa sebagai sumber pengetahuan keagamaan bagi masyarakat sekaligus menjalankan peran sebagai “polisi moral” dan tokoh “super body” dalam masyarakat.

Dengan mengutip Hadits Rasulullah “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi…”, dalam redaksi lain diartikan sebagai “Sesungguhnya orang berilmu adalah pewaris para nabi…”, Kyai dan Habib ini melegitimasi persepsi mistifikasi ini sebagai sesuatu yang taken for granted, ada dan diterima begitu saja.

Kyai dan Habib menganggap diri mereka sebagai perpanjangan peran dari Rasulullah yang mempunyai posisi sebagai pemimpin umat, pemimpin agama. Bahwa pengetahuan dan penafsiran agama adalah otoritas mereka, dan masyarakat seharusnya patuh terhadap mereka.

Penulis sering mengamati beberapa perilaku masyarakat yang merupakan hasil dari persepsi mistifikasi. Misalnya, menyediakan tempat duduk untuk Kyai dan Habib paling depan di setiap acara kemasyarakatan, meminta pertimbangan dan doa kepada Kyai atau Habib ketika ingin melakukan sebuah aktifitas penting misalnya melanjutkan kuliah, melamar pekerjaan, atau  menikah.

Kedua hal tersebut, oleh warga NU dianggap sebagai perilaku menghormati dan ngalap berkah Kyai atau Habib. Tentu penulis tidak mengatakan itu adalah hal yang negatif, tapi perilaku mistifikasi sosial ini bisa terus bergeser dalam bentuk yang lebih ekstrim.

Tidak berani mengkritik Kyai dan Habib karena takut dibilang kualat, tidak berani menanyakan sesuatu hal yang sensitif kepada  Kyai dan Habib karena khawatir dibilang tidak hormat atau ilmunya belum sampai, Selalu mengikuti apa perintah Kyai dan Habib dengan harapan mendapatkan berkah, adalah beberapa contoh persepsi yang timbul di kalangan masyarakat akibat proses mistifikasi yang semakin kuat.

Meski fenomena mistifikasi ini bukanlah hal yang bisa digeneralisir dan pula tidak semua Kyai dan Habib mengiyakan mistifikasi terhadap dirinya. Ada pula Kyai dan Habib yang dengan rendah hati menyapa masyarakat, menjadikan dirinya tempat berkeluh kesah tanpa harus membuat masyarakat berjalan menunduk sambil mengangguk “nggeh Abah”.

Penulis: Alfian IhsanEditor: Doni

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *