Patih Sengkuni

Patih Sengkuni, nama kecilnya Arya Suman, nama lainnya Trigantalpati, Sakuni, Raden Swelaputra. Kesatriyan dari Plasajenar. Ayahnya bernama Prabu Gandara dan Ibunya bernama Dewi Gandini.

Ia memiliki Saudara yang bernama Dewi Gandari, Arya Surabasata, dan Arya Gajaksa. Sengkuni mempunyai Istri yang bernama Dewi Sukesti melahirkan anak yang bernama Surakesti, Arya Antisura, Arya Surabasa, Dewi Antiwati.

Sengkuni memiliki postur tubuh yaitu Bungkuk, pipi peyot, mulut miring, wajahnya tua. Ia memiliki sifat/watak yang tangkas, pandai bicara, licik, curang, jahat, pendengki, senang mengadu domba, tipu daya, senang membicarakan kejelekan orang lain.

Ia memiliki kesaktian ahli tata ilmu pemerintahan dan tata Negara.Pandai olah keprajuritan. Adapun ajian yang ia miliki adalah Minyak Tala (tubuhnya kebal senjata). Pustaka yang ia miliki adalah Kethu Jingga dan Cis (tombak pendek ujungnya berkait).

Lakon yang ia perani dalam dunia pewayangan adalah Pandhawa Dadu, Gandamana Luweng, Duryudana Gugur, Sengkuni Gugur. (J Syahban :2011:177)

Sosok Sengkuni selalu berada di balik upaya-upaya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Hal itu yang mengantarkan Sengkuni merebut jabatan patih di Negeri Astina dari tangan Gandaman. Kala itu, kendali pemerintahan Negeri Astina berada di tangan Pandu Dewanata. (Utomo:2014:37)

Sosok sengkuni dalam jagad pakeliran wayang purwa identik dengan pemilik sifat licik, penuh tipu daya, provokator, dan tukang ucuk-ucuk. Sosok ini bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap berkecamuknya perang Bharatayuda. Perang saudara dan pertumpahan darah di Padang Kuru Setra antara para ksatria Pandawa dan prajurit Kurawa.

Tidak ada sosok lain dalam dunia pewayangan yang dapat menandingi ketenaran sosok Sengkuni dalam hal kelicikan dan kebusukan. Dalam diri sosok Burisrawa, Durna, Dursasana, Jayadatra, atau Duryudana, masih bisa ditemukan sisi baik meski samar-samar. Namun, akan sulit jika itu dicari pada sosok Sengkuni. Sehingga tak dapat dipungkiri, sosok Sengkuni atau sosok pemilik nama lain Haryo Suman dan Trigantalpati ini dinobatkan sebagai sosok antagonis tulen.

Dendam Sengkuni

Dendam Sengkuni pada keluarga Pandawa bermula ditolak keinginannya agar adiknya Gandari diperistri Pandu ,Sayang disayang Pandu tak berminat malah memberikan Gandari kepada kakaknya yang matanya buta bernama Drestarata..

Pemberian hadiah adiknya Gandari sebagai bentuk penghormatan kepada Pandu yang berhasil mengalahkan Sengkuni dalam sayembara memperebutkan Dewi Kunti dari Kerajaan Mandura.

Rupanyanya dendam Sengkuni tidak hanya kepada Pandu saja juga pada anak anaknya .Suatu saat mengirim Kurawa untuk membakar persinggahan Dewi Kunti dan anak anaknya di sebuah pinggiran hutan.

Sayang disayang niat jahat Sengkuni untuk menghabisi Dewi Kunti dan putranya berlima yang mendapat julukan “Pandawa” ketahuan Widura sehingga niat membungihamguskan istri dan anak anak Pandu gagal total .Peristiwa pembakaran tersebut dikenal dengan peristiwa Bale Si Gala -gala.

Kegagalan mengabisi Dewi Kunti dan putranya Pandawa membuat Sengkuni rupanya tak menyurutkan dendamnya dengan menghasut Duryudana dan Drestarata agar tidak memberikan tahta Kerajaan Hastinapura kepada Yudistira .

Yudistira hanya diberi alas angker yang dikemudian hari berhasil dirubah menjadi sebuah Kerajaan besar yang sangat makmur dan maju dengan nama Kerajaan Indraprasta berkat kepintaran Arjuna.

Melihat keberharsilan keturunan Pandu dan Dewi Kunti membangun Kerajaan Indraprasta mulailah Sengkuni membuat sayembara dadu antara Kurawa dan Pandawa sebuah strategi dan tak licik yang berhasil dimenangkan pihak Kurawa.

Kekalahan sayembara adu dadu menyebabkan Pandawa terusir dari Istana Indraprasta selama kurang lebih 13 tahun membuat dendam sangat tinggi putra kedua Pandu bernama Bima pada Sengkuni

Dalam lakon “Gandamana Luweng” diceritakan, Sengkuni merancang aksi tipu-tipu dan fitnah untuk menjungkalkan Patih Gandamana dari kursi kepatihan Astina. Sengkuni menyiapkan jebakan lubang perangkap untuk membinasakan Gandamana, namun upaya itu tidak mempan.

Dasar Sengkuni yang licik, disusunlah skenario untuk memfitnah bahwa Gandamana berkhianat ke kubu musuh. Upaya itupun gagal, Gandamana selamat dari fitnah itu. Buntutnya, Gandamana menghajar Sengkuni hingga wajahnya babak belur dan buruk rupa. Meskipun begitu, Gandamana dengan sifat ksatria melepaskan jabatan dan menyerahkan kepada Sengkuni.

Ketika kekuasaan sudah diraihnya, Sengkuni sebagai patih dapat leluasa menjalankan taktik busuk. Dalam kisah-kisah Epos Mahabharata, Sengkuni berada di balik layar dan dalang diangkatnya Duryudana sebagai putra mahkota pasca mangkatnya Pandu Dewanata.

Sengkuni pula yang menyusun skenario agar para ksatria Pandawa kalah dalam permainan dadu melawan Kurawa yang taruhannya Negara Astina.

Puncaknya, Sengkuni berupaya membunuh para Pandawa dan ibunya, Kunti Talibrata dalam insiden Bale Sigala-gala. Atas ide busuk Sengkuni, Kurawa membangunkan sebuah rumah peristirahatan bagi Kunti dan Pandawa dari kayu yang mudah terbakar. Lalu menyajikan makanan dan minuman yang mampu membuat Kunti dan Pandawa tidur lelap dalam sekejap. Saat mereka tertidur lelap, para prajurit Kurawa atas perintah Sengkuni membakar rumah kayu itu. Kewaspadaan Bima membuat ibu dan anak itu selamat dari kobaran api.

Perang Bharatayudha menjadi akhir riwayat Sengkuni. Meski mandraguna, kebal senjata berkat minyak Tala, ia dikalahkan Pandawa di perang antar-keturunan Kuru ini. Akhir hidup Sengkuni tragis. Ia digigit Duryudana lalu jasadnya dilimatkan Gada Rujakpolo milik Bima.

Karakter sengkuni menjalani reinkarnasi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam kehidupan kita sehari-hari. Masyarakat tradisional Jawa memakai nama Sengkuni untuk menjuluki orang paling tidak disukai di lingkungannya.

Sengkuni adalah potret manusia licik, penuh intrik yang mencari keuntungan dairi sendiri dengan mengorbankan orang lain. Praktik menghalalkan segala cara ditempuh demi meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Berbagai upaya dilakukan, di antaranya pemisahan antara politik dengan akhlak secara keseluruhan, bahwa dalam politik tidak ada faedahnya menuruti peraturan moral. Untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan dibenarkan menggunakan sarana dan alat apapun, termasuk yang ilegal dan tidak sesuai dengan undang-undang sekalipun.

Dalam teori sosial, ada pendapat yang mengatakan bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang memiliki hasrat dan keinginan abadi untuk mengejar kekuasaan. Hasrat dan keinginan itu akan berakhir bila kematian telah menjemputnya.(Utomo :2014:9)

Sumber:

J. Syahban Yasasusastra, Mengenal Tokoh Pewayangan (Biografi, Bentuk dan Perwatakannya), Pustaka Mahardika, Yogyakarta, 2011
Hunggo Utomo,Katalog,Dulong mas, Kabupaten Tegal, November 2014

Penulis: Kang MulEditor: Doni

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *