Takdir di Hari Minggu

Destiny is determined by God. Seperti takdir di hari Minggu yang bermatahari, lengkap dengan hembusan angin yang mengisiskan keringat.

Jam belum penuh menunjukkan pukul sebelas ketika aku meninggalkan apartemen. Untuk pertama kalinya di awal musim semi aku jogging. Baju olahraga yang tersimpan rapih akhirnya keluar. Dengan kerudung putih yang pernah kugunakan untuk tawaf, aku berpakaian olahraga lengkap dengan sepatu sport yang sudah seharusnya diganti tapi sayang untuk dibuang 😀

Konstan berlari menuju arena lari di Unisport. Beberapa Oma Oma Yang sedang berjalan dengan anjing kesayangannya di dekat panti rehabilitasi Diakoni, memandangku dengan aneh, mungkin karena kerudung putih ku yang berkibar kibar..haha… aku sapa “hello” seorang Oma membuang wajahnya…wkwkwk…

Arena UniSport sudah mulai ramai. Di tanjakan pintu masuk segerombolan pria tumbar mere jahe tampak keluar arena. Sambil terus berlari, berniat menyusuri lapangan berrumput, aku terjebak di sekumpulan manusia sejenis dengan Shah Rukh khan, artis Bollywood kenamaan.

Seperti sedang melihat syuting Bollywood, para manusia itu ternyata sedang bersiap bermain kriket. Lengkap dengan seragamnya, masing-masing pemain memiliki nama dipunggungnya, Suraj, Vijay dan nama nama yang mengingatkanku pada film favorit sepanjang masa 😀 Kali ini aku lumayan terhibur. Entah selama ini mereka bersembunyi dimana, baru kali ini melihat orang sebangsa Mahatma Gandhi itu berwajah 11 12 dengan para Aktor Bollywood, biasanya…*you know what I mean….hahah …ups #sorry

Arena lari sudah diokupasi beberapa orang, pasangan Oma dan Opa, Frau dan Herr dengan 2 anak lelaki kecil, seorang mba mba, seorang tante tante yang santai berjalan dan seorang mas mas berbadan atletis tanpa brewok 😀 Masing masing menikmati wilayah lari mereka. Aku mengambil jalur lingkaran lari tengah.

Matahari bertambah silau ketika aku berlari menuju putaran kelima. Seketika se pasukan manula mixed dengan laki-laki setengah baya berbondong-bondong memasukki Stadion lari dan langsung menuju lapangan rumput yang berada di tengah Stadion. Beberapa dari mereka menggotong gawang.

Saat mataku memperhatikan pemindahan gawang, seseorang yang tampak tak asing sedang bermain menggocek bola. “Hai!” Kataku sambil melambaikan tanganku dengan handuk kecil berkibar-kibar.

Dia adalah mantan co-supervisor ku, Profesor Emeritus yang berusia lebih dari 80 tahun. Sejak liburan nya ke Namibia, negara kelahirannya, praktis tak pernah lagi bertemu. Selain berbeda gedung, sang Prof. lebih menyukai bekerja di kantor late shift.

Aku terus berlari sambil melambaikan tangan. Setelah mengenali, sang Profesor membalas lambaian tanganku sambil tersenyum lebar, menghiasi wajah keriputnya yang mirip Joachim law, pelatih tim der Panzer, versi old face #ups

Ketika sampai di putaran ketujuh, angin segar Seketika berhembus. Sang Professor mendekat dan menyalamiku yang tetap berlari di tempat… setelah menanyakan kabar, dia kembali ke aktivitasnya tadi. Sang Profesor mulai berlarian menghadang bola dan aku kalem berlari.

Ah Profesor, lama tak berjumpa, rindu berdiskusi denganmu, diskusi riset sampai agama. Dia yang selalu mendebatku tentang Islam, tentang Muslim dan seluruh ceritanya, namun yang aku rasa kami memiliki rasa yang sama terhadap kemanusiaan, titik toleransi yang selalu menjadi pendingin ketika kami sudah mulai sama sama tinggi ketika berdiskusi. May Allah guides you Prof. 🙂

Aku kembali fokus pada jalurku. Tak disangka mas mas atletis tanpa brewok yang sedari tadi berlari di putaran lebih luar dariku tiba tiba membuka kaos nya, mengambil posisi push up di salah satu sudut Stadion yang cukup mencolok mata…. *dan tiba tiba langsung ingat pesan Ibu dan nasehat Ustadzah…. wkwkwk

Putaran ketujuh selesai, menuju putaran ke delapan, putaran terakhir untuk standard joggingku. Sang Profesor sudah sibuk dengan permainan bolanya dan aku sibuk mengelap keringat dengan handuk kecilku. Yeay putaran ke delapan selesai. Namun tak mungkin keluar Stadion lari melalui lapangan rumput, para pemain Bollywood mengokupasi hampir seluruh lapangan. Akhirnya ku tambah satu putaran lari.

Separoh putaran kesembilan aku masih berlari stabil ketika mas mas atletis tanpa brewok dan tanpa kaos mendekat dan melemparkan senyum. *Astaghfirullah… aku membatin…. Hahaha… aku percepat lari ku dan kabur melalui jalan tikus keluar Stadion.

Putaran ke sembilan tak ku selesai kan, takut mas mas atletis say “hello” dan mengajak kenalan…Hahaha. .. that story just end on that time… I am going home soon <3

Cerita hari Minggu sebagai pengingat bahwa semua cerita sudah digariskan. Sebagai manusia hanya menjalankan. Dan kisah ini (mungkin) akan termasuk di dalam novel , “Göttingen = Perjalanan Sebuah Kerinduan”

Dan jika pun novelku tak sempat terselesaikan paling tidak akan ada Jejak Kerinduan di kota kecil ini … kota ilmu pengetahuan, kota penawar rindu bagi pencinta ilmu … Göttingen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *