Tanah Untuk Pulang

Hari ini sepulang dari Zentrum, pusat kota Goettingen, aku mengayuh sepeda ke masjid Al Iman, disamping suhu yang luar biasa dingin yang membuat tanganku kaku walau sudah mengenakan sarung tangan, waktu dhuhur sebentar lagi datang.

Biasanya jamaah wanita hanya aku dan Madame, wanita tua asal Afghanistan yang sudah hampir empat tahun menjadi temanku di masjid mungil di kota ini. Ketika iqomah berkumandang, neneknya Zaid dan Yaman datang, wanita tua asal Suriah yang sudah setahun menjadi pengungsi di Goettingen.

Nenek Zaid tak memiliki waktu lama, dia bergegas seusai sholat dhuhur berjamaah. Tinggal aku dan Madame di area jamaah perempuan. Hari ini Madame terlihat lelah sekali. Sepagian dia memasak untuk dikirim ke salah satu rekannya di Geismar. Salah satu anggota keluarga rekan Madame meninggal dunia. Jam lima sore dia akan ke Geismar naik taksi, mengantar makanan yang ia masak.

“Lihat Habibah, mereka para pelaku peledakan bukan muslim, bukan muslim” Kata Madame di suatu malam setelah berbuka puasa. Kami menonton tivi bersama. Menunggu serial Jodha Akbar yang ternyata tayang setelah acara berita.

Madame mengusap matanya yang basah. Terlihat betapa dia sedih. Tanah air kelahirannya selalu dalam keadaan perang.
“sudah 40 tahun” Kata Madame.

Liputan peledakan bom di kota Kabul dengan memakan korban sebuah bus angkutan penuh penumpang menghias layar kaca. Ngeri melihat bus hangus terbakar. Seorang anak lelaki berumur belasan tahun menangis sambil menceracau.

“Anak itu kehilangan Ayah dan ibunya” Kata Madame sembari menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Anak malang, dia tak memiliki pilihan. Tak seperti Madame yang bisa berpindah negara, banyak orang di Kabul adalah warga ekonomi biasa bahkan miskin. Untuk ke Jerman, Madame dan keluarganya butuh banyak biaya.

Konon, keluarga Madame adalah keluarga kaya raya. Menurut cerita Madame, ayahnya adalah seorang pengusaha sukses. Namun mereka harus meninggalkan rumah, apartemen dan kebun mereka di tanah air mereka karena perang.

Malam itu seperti biasa jika Madame bercerita tentang negaranya. Pilu dan sedih. Tak ada harapan baginya untuk kembali ke tanah kelahirannya. Masa tuanya harus ia habiskan di negeri orang. Suatu kali dia meminta izin kepada kakaknya untuk pulang ke Kabul, menengok kampung halaman sekaligus berziarah ke makam Hazrat Ali RA. “Jika kau ingin mati disana, silakan” itu jawaban yang ia dapatkan. Kala itu aku hanya bisa mendengarkan cerita dan curhatannya, dalam hati aku bersyukur …

Aku memiliki tanah air untuk pulang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *