Tradisi Menulis Para Ulama

DARI AWAL MULA TRADISI MENULIS

Islam sebagai agama kental dengan genealogi keilmuan yang turun-temurun dan secara terus-menerus bersambung. Tradisi keilmuan semacam ini hanya akan ditemukan di Pesantren, yang (konon) selalu dituding sebagai lembaga pendidikan paling konservatif.

Akar keilmuan Pesantren selalu bermuara pada tokoh utama yaitu pengarang atau penyusun sebuah kitab (buku kajian). Dari tokoh utama itu kemudian bersambung lidah hingga para Sahabat Nabi Muhammad Saw.

Kejayaan Islam jika ditengarai melalui lembaran sejarah peradaban Islam, kita bisa melihat sejak era kekuasaan dinasti Bani Abbas atau lebih dikenal dengan Khilafah (daulah) Abbasiyah. Yang dalam sejarah Islam dikenal dengan perkembangan intelektual muslim pada masa yang disebut Harun Nasution sebagai periode klasik (650-1250) yang merupakan zaman kemajuan, di masa inilah berkembangnya dan munculnya ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun non agama dan kebudayaan islam.

Bila dianalisis lebih jauh sampai periode-periode ini kaum intelektual islam identik dengan ulama. Apalagi bila diingat bahwa ulama dalam pengertian aslinya adalah orang berilmu (Ilmuwan). Ilmu yang dikuasainya itu tidak terbatas kepada ilmu agama saja. Pendapat ini bisa dipegang karena kagiatan intelektual itu tumbuh karena manusia sibuk dengan urusan agama.

Zaman inilah yang menghasilkan ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah an Nu’man, Imam as-Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dalam bidang hukum, teologi, Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Butami, dan Al-Hallaj dalam mistimisme atau tasawuf, al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Maskawaih dalam filsafat, Ibnu Hasyim, Ibnu Khawarizmi, al-Mas’udi dan al-Razi dalam bidang pengetahuan.

Kemajuan dalam segala penjuru bidang keilmuan ini tidak lepas dari peran Khalifah sebagai pimpinan tertinggi kerajaan Islam. Dinasti Abbasiyah saat itu memiliki perhatian tersendiri kepada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, dan puncaknya adalah masa kepemimpinan Harun al-Rasyid (785-809 M) dan al-Ma’mun (813-833 M).

Baca Juga : Manipulasi Sejarah

Pada masa inilah, buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Umat Islam semakin dimanjakan dengan kebebasan pengetahuan yang begitu luas dengan tanpa mengkotak-kotakan ilmu pengetahuan.

Kebebasan mendapatkan ilmu pengetahuan itulah yang mengantarkan Islam sampai pada puncak kejayaannya. Ilmuwan Islam semakin getol menulis dan mempublikasikannya, lalu dikaji dan dikembangkan kembali. Dari sinilah muncul istilah Matan, Syarah dan Hasyiyah dalam bidang ilmu Fiqih (hukum).

Ulama-ulama fiqih (fuqoha) kala itu mulai mentradisikan tulis-menulis. Sehingga lahirlah banyak karya-karya agung dari luasnya pengetahuan dan tulis-menulis.

Misalnya saja, ketika Imam Syafi’i menuliskan sebuah surat atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi di Makkah, yang meminta agar Imam Syafi’i menuliskan suatu kitab yang mencakup ilmu tentang al-Qur’an, hal ihwal yang ada dalam al-Qur’an dan disertai juga dengan Hadits Nabi. Surat Imam Syafi’i untuk Abdurrahman bin Mahdi itu kemudian dikodifikasikan sebagai kitab ilmiyah yang dikenal dengan nama al-Risalah.

Pun demikian dengan Imam al-Ghazali, sebagai penulis kitab al-Risalah al-Waladiyah atau lebih dikenal dengan Ayyuha al-Walad. Kitab ini awal mulanya merupakan sepucuk surat yang ditulis beliau untuk membalas surat yang telah dikirim oleh salah seorang muridnya dengan harapan agar Imam al-Ghazali memberi wasiat dan nasihat kepada dirinya.

Pada masa pertengahan, yakni antara kurun waktu 1250-1800 M, para peneliti menyebutnya sebagai fase kemunduran intelektual umat Islam. Meski demikian, tradisi tulis menulis masih tetap berlangsung. Hanya saja, kualitas yang dihasilkan tidak sehebat masa kejayaan Islam. Di masa inilah, berbagai literatur muncul sesuai dengan wilayahnya masing-masing.

Di Turki, misalnya, penulis-penulis Turki lebih memilih menggunakan bahasa Persia. Berbeda dengan di India, bahasa Urdu digunakan menjadi bahasa literatur dan menggantikan bahasa Persia yang sebelumnya dipakai di kalangan istana sultan-sultan di Delhi.

ULAMA NUSANTARA MENULIS

Memasuki masa Modern tahun 1800 M – dan seterusnya, merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Di masa ini, umat Islam mulai berani menafsirkan ajaran-ajaran dasar agama dengan interpretasi-interpretasi baru yang lebih segar dan progresif sesuai perkembangan zaman. Ini dimaksudkan agar nilai luhur Islam tidak usang oleh dinamika perubahan yang berjalan begitu cepat.

Di Indonesia, tradisi kepenulisan para ulama dimulai dari masa Modern ini. Tidak sedikit para pelajar Indonesia menuntaskan dahaga keilmuanmya ke Timur Tengah, diantaranya adalah Makkah dan Hadramaut. Maka lahirlah ulama-ulama besar pada kurun waktu 1800 – 1900 M, diantaranya adalah Syaikh Ahmad Khatib al-Sambasai, Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram al-Banyumasi, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani dan masih banyak lagi pelajar-pelajar Nusantara yang berhasil sebagai ulama besar.

Produktifitas karya penulisan ulama itu berkembang cukup pesat. Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya Islam Transformasi menyebutkan Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram al-Banyumasi merupakan satu-satunya ulama paling berpengaruh di Makkah. Tidak satupun pengarang kitab di Haramain; Mekah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya, sebelum ada pengesahan dari Syaikh  Nahrowi. Hampir dapat dipastikan separuh hidupnya dihabiskan untuk mengoreksi dan mentashih ratusan kitab karya ulama-ulama Nusantara, yang pada waktu itu terkenal sangat produktif menulis karya tulis seperti Syaikh Mahfudz al-Tremasi, Syaikh Soleh Darat, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Kholil al-Bangkalani, Syaikh Junaid al-Batawi. Syaikh Nahrowi, meminjam istilah sekarang adalah editor handal dari kitab-kitab klasik ulama-ulama Nusantara pada masa itu.

Selain Syaikh Nahrawi, Syaikh Nawawi al-Bantani atau dikenal pula Imam Nawawi, juga terkenal produktif menulis kitab. Lebih dari 50 kitab telah diterbitkannya dan hingga saat sekarang ini masih dikaji secara turun temurun di Pesantren. Bahkan hampir dapat dipastikan, tidak ada Pesantren yang tidak mengkaji kitab karya Imam Nawawi tersebut.

Dalam perkembangannya, dunia kepenulisan ulama masih terus bergulir. Hanya saja, literatur yang dibangun lebih generalis. Para ulama di Indonesia lebih memilih menulis menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat umum dapat mempelajarinya sendiri.

Berbeda dengan penulisan menggunakan bahasa arab, yang membutuhkan guru pembimbing dalam mempelajarinya. Selain itu, bahasa arab masih jarang diminati dikalangan umum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *