Ana Ukhibukum Fillah

Goettingen di Rabu pagi berhias rintik hujan. Berharap datang lebih awal, mengayuh sepeda berbendera Jerman, kukenakan jaket anti air menuju kelas tafsir dan hafalan hari ini.

Dugaanku salah, aku pikir akan menjadi orang pertama yang membuka pintu masjid Al Iman, masjid mungil di kota Goettingen.
“Assalamu’alaikum” aku uluk salam, saat pintu aku buka.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah” jawaban kompak dari area jamaah wanita. Sang Ustadzah sedang mengevaluasi setoran hafalan Sister asal Palestina. Berhenti sejenak, menjawab salam sambil tersenyum. Aku terus masuk dan mengambil tahiyatul masjid setelah sebelumnya memohon izin kepada sang Guru. Beliau mengizinkan.

Satu per satu telah menyetorkan hafalan. Dengan pembenaran beberapa makhraj huruf, aku menyelesaikan Al Mulk hari ini, alhamdulillah.

Seorang sister asal Yaman masuk kemudian dengan menenteng bungkusan besar, dia terlihat kaget saat melihatku? Kemudian beralih menuju area jamaah laki-laki yang terpisah dengan hijab berwarna hijau muda. Barulah kemudian bergabung bersama kami. Beberapa Sister yang lain berdatangan setelahku, termasuk Istri Syeikh, Profesor asal Universitas Madinah yang aku temui semalam saat kuliah umum tafsir di masjid Al Salam, masjid besar di daerah Grone, Goettingen. Tetapi mereka tak langsung bergabung dengan lingkaran kami, mereka menuju area jamaah laki-laki. Aku tak mengerti …

Pertemuan hari ini tampak berbeda, tak ada tafsir ayat, berganti estafet ayat. Tak semua mendapat giliran, mendapat dua kali giliran, kali pertama aku tak sanggup, aku lupa dan tak siap. Beruntung di lemparan kedua aku mendapat bagian ayat terakhir dari surat yang baru pekan lalu aku hafal, Al waqiah 😀

Kelas dilanjutkan dengan perkenalan sang Istri Syeikh dengan kami. Setelah beliau, satu per satu kami memperkenalkan diri…
“Ismi Habibah” kataku , kemudian Sister Tunisia menyambung “min Indonesia”
“Nein, Indunisi” kataku sok tahu …
“La, aku menyebutnya Indonesia” katanya kemudian dalam bahasa Jerman, disertai tawa kami bersamaan ..

Sang Ustadzah menyelesaikan kelas kami, terlalu cepat, tak seperti biasanya. Beliau berdiri, sambil menggendong bayi dalam pelukannya, dia meraih tanganku dan mengajakku “Habibah, ayo…”
Aku patuh mengikuti langkahnya menuju area jamaah laki-laki, menyingkap hijab pembatas.

“Ini, untukmu … ” Beliau memperlihatkan meja penuh kue. Dekorasi dinding dengan balon-balon dan pita berwarna-warni.

Aku masih tak mengerti …

“Untuk kelulusanmu, kegigihanmu, kami bangga kepadamu, kamu adalah saudari kesayangan kami” Sang Ustadzah, wanita asal Sudan yang biasa aku panggil Sister itu melanjutkan kata-katanya …

Aku terdiam dan reflek memeluknya. Dan, aku menangis, terharu …
Aku masih memeluk sang Guru saat seorang sister Palestina mendekat, memberikan sebuah kartu ucapan. Sambil mengusap matanya yang juga basah, dia menunjukkan ucapan selamat dalam Bahasa Indonesia di balik kartu. Perfect! Aku kembali terharu …

Satu per satu mereka menyalamiku, memberikan pelukan terhangat yang pernah aku terima. Mereka menyilakan ku mengambil kue pertama. Aku masih tak percaya, kemudian mereka memberikan sebuah buket bingkisan manis untukku.

“Kami bahagia memilikimu”, Mereka kembali membuat tenggorokanku tercekat.

Dari pertemuan hari ini, satu per satu aku mengenal mereka lebih. Di pertemuan biasanya, kami menghadiri kelas, selesai dan langsung bubar, kecuali sang Guru yang biasanya akan tinggal beberapa saat di masjid.

“Adikku baru saja ke Indonesia, you people are really friendly” Kata Sister asal Jeddah, Saudi Arabia

“Ya, mereka selalu tersenyum” Kata sister asal Palestina.

Aku tersenyum lebar, lebar sekali. Ada rasa bangga dan bahagia.

“Ya, senyum itu Nabi kita, Shallallahu “Alaihi Wassalam ajarkan kan?” Retorika untuk merespon mereka.
“Ya, tapi kenyataannya tak seperti itu, disini, tak semua muslim menjaga senyum mereka, tapi orang Indonesia? selalu!” Kata Sister Palestina dengan bahasa Jerman yang mudah kupahami.

“Bawaan orang kami mungkin memang seperti itu, banyak senyum” kataku kemudian…

Mereka mengamini perkataanku …

Tuhan, aku bahagia hari ini. Rasa itu tak bisa semua tersampaikan. Alhamdulillahi ladzi bini’matihi. Ana Habibah min Indunisi. Ana ukhibu Indunisi, Ana ukhibukum fillah Mein Liebe Schwester im Islam 🙂

Exit mobile version