Badut Badut Bangsa

MALAM tepat sebelum 17 Agustus 1995, beberapa pengurus harian PAC IPNU Ajibarang nongkrong di sebuah bakul gorengan pinggir jalan. Ngobrol ngalor ngidul ditemani kopi tubruk dan mendoan. Saat obrolan menyinggung tema karnaval 17 Agustusan esok hari, pembahasan mentok.

Ya.. karnaval, sudah lazim tiap 17 Agustus ada karnaval tingkat kecamatan. Setelah upacara HUT RI di lapangan Ajibarang Wetan, para peserta biasanya akan berjalan kaki berkeliling Ajibarang dengan tema dan kostum warna warni.

Pesertanya perwakilan dari desa, dari sekolah, dan dari ormas. IPNU dan IPPNU tentu saja ikut serta di dalamnya. Tapi sangat tidak asyik jika hanya ikut-ikutan saja tanpa ada tema yang diusung. Terlebih karena tahun itu sangat istimewa, Tahun 1995 adalah 50 tahun kemerdekaan, perayaan emas.

Lewat tengah malam, Slamet Ibnu Ansori, ketua PAC IPNU Ajibarang saat itu mengusulkan ide menarik untuk tema karnaval besok. Dengan penjelasan yang sok filosofis khas pemuda, ditambah melihat kondisi sosial politik saat itu, beberapa opsi tema diutarakan.

Ide itu disambut dengan beberapa pertanyaan balik. Saling sanggah, dan melengkapi. Obrolan berjalan gayeng. Jadilah detail kreatif diserahkan kepada Amin Nurrokhman, sekretaris umum. Tapi karena ini ide tidak umum, eksekusinya menjadi operasi rahasia. Rombongan akan bergabung di tengah perjalanan, tidak ikut berkumpul di lapangan.

Pagi-pagi sekali persiapan sudah selesai. Tidak ada yang tidur malam itu. Waktu yang mepet digunakan untuk membuat spanduk, dan perlengkapan lain. Rekan-rekan sudah bersiap dengan kostum masing-masing, tinggal menunggu barisan MWC NU Ajibarang lewat, lalu ikut bergabung.

Karnaval barisan pertama datang, anak-anak sekolah dasar. Tampil dengan kostum yang lucu-lucu dengan bendera kecil di tangan. Mungkin karena anak-anak, jadi diletakan di barisan depan oleh panitia.

Ada lagi barisan dengan tema para pahlawan, memakai baju tentara dengan bedil laras panjang. Ada juga yang membuat replika kuda pangeran Diponegoro. Dan ada yang membuat replika tank lengkap dengan meriam bambu buatan sendiri.

Setelah beberapa barisan berjalan, giliran barisan MWC NU Ajibarang bergerak maju. terdiri dari barisan sekolah dan ranting, yang mengular sangat panjang. Aroma ‘pamer kekuatan’ sangat terasa.

Baca Juga : Tips Mengatasi Kenakalan Remaja

Setelah sampai di ujung akhir barisan MWC, rombongan PAC IPNU Ajibarang langsung meringsek ke barisan. Lalu membentangkan spanduk besar bertuliskan “BADUT BADUT BANGSA”, tema karnaval PAC kali ini. Dengan backsound lagu ‘Badut’ dari Iwan Fals yang disetel dari Tape Kaset dengan accu.

Dut badut badut badut badut badut badut zaman sekarang
Mong ngomong ngomong ngomong ngomong ngomong ngomong ngomong sembarang
Di televisi
Di koran-koran
Di dalam radio
Di atas mimbar
Para pengaku intelek tingkah polahnya lebihi badut
Kaum pencuri tikus politikus palsu saingi badut
Ho ho ho
Ho ho ho ho ho ho ho
Ho ho ho
Ho ho ho ho ho ho ho

Lagu Iwan Fals menggema selama karnaval. Lagu Badut, lalu lagu Bongkar, saling diputar bergantian. Bertumpang tindih dengan sorak sorai penonton, dan lagu lagu nasional yang diputar panitia.

Di belakang spanduk Badut Badut Bangsa terlihat rekan-rekan semuanya memakai topeng dengan tulisan besar di dadanya, ada yang bertuliskan KYAI, ada yang di dadanya bertuliskan POLISI, ada yang bertuliskan Presiden, Politisi, Anggota DPR, Kepala Sekolah, Guru, Kepala Desa, Bupati. Di belakangnya seseorang memakai Jas hitam duduk di atas kursi yang ditarik gerobak, mencambuk orang-orang tadi dengan cambuk yang ujungnya berisi Duit yang diikat.

Penonton berteriak histeris, para tokoh masyarakat merah mukanya menahan malu. Anak kecil tertawa-tawa dikira orang ini berperan sebagai kerbau, dicambuk diatur seenaknya. Badut Badut Bangsa menyentil ego para tokoh masyarakat, di tengah ramainya perayaan kemerdekaan.

Sambil berjalan, rekan-rekan tiba-tiba teringat perbincangan di bakul gorengan tadi malam. Tentang situasi Indonesia yang semakin mengkhawatirkan. Krisis ekonomi dunia yang mulai menjalar ke Asia. Orde baru yang tak kunjung berganti. Sementara itu hutang negara, dan korupsi bertambah. Tapi moral para agamawan, pejabat, dan tokoh masyarakat semakin berkurang.

Malam itu, di tengah obrolan santai sambil minum kopi, rekan rekan terdiam, masing-masing berdoa, melontarkan harapan kepada Tuhan, semoga Indonesia esok hari lebih baik, dan menjadi rumah yang ramah bagi orang kecil. Puss.. Doa itu diabadikan lewat asap kretek ketengan yang tinggal sebatang.

Ketika rombongan tiba di panggung kehormatan. Komentator barisan yang sejak tadi berbicara panjang lebar di speaker, tiba-tiba terdiam, tenggorokannya seperti tercekik. Suasana panggung jadi agak cangung, tamu undangan yang berisi para tokoh masyarakat berpandang-pandangan bingung, campur malu, campur marah.

Lalu tiba-tiba tim keamanan bergerak cepat, berteriak-teriak membubarkan barisan. Tapi sayangnya, barisan IPNU cuek saja, setelah berhenti sejenak di depan panggung, mereka mulai berjalan cepat, lalu setengah berlari karena dikejar-kejar keamanan. Kerumunan buyar, penonton tertawa, lalu komentator melanjutkan omongannya, seolah olah tidak terjadi apa-apa (*)

Exit mobile version