Gonggongan Keras si Anjing Besar

Hari hujan sore itu. Warung kopi tidak terlalu ramai. Musik bertempo cepat mengalun dari speaker kecil di meja kasir. Saya duduk memandang hujan menemani seorang adik yang sedang menceritakan kakaknya dengan nada kebecian.

Aku tidak mau hidup digerakkan dendam. Begitu katanya pada saya. Dan aku tidak perlu membuktikan apa-apa kepada siapapun, termasuk kepada kakakku. Begitu dia melanjutkan. Saya hanya bisa tersenyum dan manggut-manggut mengiyakan omongannya.

Teman semeja saya sore itu tampaknya sedang mengalami hari yang buruk. Ia tidak suka kakaknya terlalu menyetirnya. Tentang bagaimana dia memandang kehidupan apalagi ketika sang kakak mengkhotbahinya cara menjalani hidup yang benar. Saya kenal juga dengan kakaknya—yang bergaji besar dan kaya, jadi saya bisa membayangkan bagaimana ‘bebunyian’ yang keluar dari mulut kakaknya dan seperti apa rasanya berada pada situasi itu.

Problem kakak-adik, senior-junior, tua-muda, besar-kecil, kaya-miskin, adalah satu problematika tertua dalam sejarah umat manusia. Sejak Qobil-Habil permasalahan merasa lebih dan menganggap kurang menjadi pemantik konflik yang laten. Seperti bara dalam sekam, hanya butuh sedikit hembusan angin untuk membuatnya terbakar. 

Segala bentuk kesenjangan yang demikian itu lebih gampangnya saya katakan sebagai superior-inferior. Superior menjelaskan sikap yang merasa lebih. Lebih tua maka merasa lebih pintar, lebih pengalaman. Lebih besar maka merasa lebih berharga ketimbang yang kecil. Lebih kaya maka merasa lebih berhasil dalam mengarungi hidup—yang memang membutuhkan harta. Berbanding terbalik dari itu, inferior menggambarkan perasaan yang merasa kurang. Karena lebih muda maka merasa kurang pengalaman, karena kecil maka merasa tak berguna, dan karena miskin maka merasa hidupnya tidak berhasil.

Di titik ekstrimnya, kedua sikap tadi jelas sangat merusak. Superior—yang adalah kepanjangan dari ego, akan membawa kita pada sikap meremehkan—mengecilkan orang lain, kelewatan menganggap diri lebih dari orang lain, menjadi arogan dan setengah mati sombongnya. Sedang inferior akan menggiring kita pada perasaan tidak mampu yang kemudian berefek pada tidak berani berkata apalagi bersikap dan berujung pada perasaan rendah diri. Kedua-duanya jelas destruktif, pada titik ekstrimnya.

Pada kasus teman semeja saya tadi, yang mungkin juga dialami oleh orang-orang lain di meja yang lain di warung kopi yang lain masihlah tidak terlalu parah. Kenapa? Karena menurut saya hanya satu pihak yang sedang berada pada titik ekstrim. Sang kakak, yang kebetulan lahir duluan merasa lebih pintar dan pengalaman. Ia juga merasa lebih bisa menjalani hidup karena buktinya dia bisa kaya. Dan karena ia merasa lebih segalanya, maka ia menganggap adiknya yang kebetulan—lebih muda dan pengangguran itu tidak lebih pintar dari dirinya. Juga keliru dan tidak berhasil mengartikulasikan kehidupan apalagi menjalaninya. Buktinya dia miskin dan menganggur. Maka dengan dilambari sikap sombong dan arogan, ia mengkhotbahi, menyetir dan memaksakan adiknya untuk berjalan maju sesuai aba-abanya.

Teman semeja saya itu menyeruput kopinya. Bahkan pilihan kopi-pun, dia merasa kopi pilihannya itu yang terbaik. Pokoknya semua yang ada padanya dia selalu merasa lebih baik. Pekerjaannya, motornya, istrinya, sepatunya, gaya desain interior rumahnya, rokok yang dia hisap. Pokoknya semuanya. Begitu dia bilang sambil memesan satu cangkir kopi lagi.

Dalam kebencian yang memuncak seperti itu, saya bingung harus berkata seperti apa kepada teman satu meja itu. Dan dia menuntut saya untuk tidak hanya manggut-manggut, tetapi berkomentar. Itu dia tegaskan lagi saat cangkir kopi keduanya datang.

Tentu sangat menyebalkan harus berhadapan dengan sosok seperti kakaknya itu. Kalo tidak pandai bersabar maka genderang perang saudara pasti akan segera ditabuh. Siapapun bisa mengalami itu. Tidak harus dengan kakaknya. Bisa dengan rekan kerja, teman bermain, tetangga atau siapapun. Dan sikap apa yang dibutuhkan selain sabar? Saya rasa buru-buru pergi dan menghindar sebelum dia datang adalah cara terbaik. Tapi mata kita kan terbatas, hanya dua didepan. Jika orang dengan kepribadian sangat menyebalkan itu tiba-tiba muncul datang dari belakang, kita harus bagaimana? Masa kita tabok sebelum dia ngomong? Kan nggak mungkin.

Bung, begitu saya memulai komentar saya setelah sebelumnya saya menghela nafas panjang. Kamu pernah dengar cerita duel Daud dan Jaluth? Kamu pernah dengar kisah tentang perang Uhud? Kamu masih ingat liga inggris musim kemarin yang mendudukkan Leicester City—klub gurem tanpa bintang sebagai jawara?

Dia tercenung—beberapa saat. Kamu faham maksud saya kan? Giliran dia yang sekarang manggut-manggut. Apa yang bisa kita petik? Begitu saya tanya. “Yang besar bisa kalah sama kecil” Begitu dia menjawab. Tepat. Daud itu manusia dan Jaluth itu raksasa.  Siapa sangka Jaluth bisa mati di tangan Daud dalam duel mereka. Matinya pun lucu. Badan lebih besar, kekuatan jelas super, alat berkelahi  lengkap, eh begitu diketapel oleh Daud tepat di keningnya, dia mati. Siapa yang menyangka? Sementara Perang badar. Bisa kamu bayangkan 300-an orang dengan peralatan perang seadanya bisa memenangi perang dengan lawan berjumlan 1000 lebih orang dengan peralatan perang lengkap berikut ratusan kuda dan onta. Tidak pernah ada yang menyangka. Dan Leicester City. Siapa mengira klub gurem yang selalu menghuni papan bawah klasemen menjelma menjadi kekuatan yang menjungkalkan dominasi klub-klub besar penuh bintang yang kaya raya.

Mereka yang dianggap kecil, dianggap hanya sebagai pelengkap, tidak mungkin memenangkan sesuatu nyatanya mereka bisa berbuat sebaliknya. Modal mereka keyakinan, keberanian dan yang terpenting aksi. Mereka membutuhkan aksi untuk membuktikan pada sejarah bahwa yang kecil tidak selalu kalah oleh yang besar. Mereka  menyusun strategi dan menghimpun kekuatan untuk aksi, membuktikan kekayaan bukanlah pertanda keberhasilan. Mereka tidak membiarkan penilaian umum, menjangkiti penilaian mereka terhadap diri mereka sendiri. Mereka tidak mau jatuh menjadi pribadi bermental inferior.

“Kamu nganggur sudah berapa lama?”

“Aku nggak nganggur, aku cuma belum menemukan pekerjaan yang tepat.”

“Pekerjaan yang tepat yang seperti apa?”

“Waktu itu kan aku kan sudah bilang aku sangat ingin jadi pengusaha.”

“Kapan kamu bilang?”

“Dulu pas kita nganter kakakku kerja ke Surabaya”

“Itu dua tahun yang lalu bung. Dan selama dua tahun itu saya tidak melihat kamu melakukan apapun. Apapun”

Kita menikmati momen diam beberapa lama. Membiarkan obrolan kita di sore hari yang hujan itu meresap—dalam pikiran, dalam hati.

Anjing besar, boleh keras gonggongannya. Dan mungkin selalu seperti itu. Tetapi tugas anjing bukan cuma menggonggong. Ia juga mengendus, Ia dituntut keberaniannya, Ia diuji kesetiaannya, dan pada saat yang diperlukan Ia  juga dibutuhkan gigitannya. Kalau kamu hanya berbicara dan berdebat tanpa berbuat dan beraksi apapun, bukankah itu berarti kamu cuma menggonggong. Sebagai anjing kecil, gonggonganmu pasti kalah keras ketimbang kakakmu yang anjing besar. Maka jalan terbaik tidak lain adalah berhenti menggonggong dan mulailah berlari, mulai mengasah kemampuan mengendus, mulailah menguji kesetiaan, dan bila perlu mulai asah gigi dan perkuat rahang untuk mendapatkan gigitan paling menyakitkan.

Tepat selesai saya bicara, kakak tertua saya nongol. Dengan gaya khasnya yang macam orang paling bener dia ngomong; Kamu itu gimana sih? Pulang kerja bukannya langsung pulang malah nongkrang-nongkrong nggak jelas begini. Anakmu itu kasihan nungguin di rumah. Udah sana pulang, udah shalat ashar belum? ini sudah jam berapa ini?

Saya berdiri, saya tabok mulut kakak tertua saya, lalu pulang.

Pandansari, 19 oktober 2017

Exit mobile version