Haji Backpacker
Dari sekian banyak film Indonesia, menurut saya film ‘Haji Backpacker’ adalah salah satu film terbaik yang pernah dibuat oleh anak bangsa. Saya akui pandangan ini sangat subjektif, akan tetapi ada beberapa penilaian pribadi yang membuat saya menempatkan film ini lain daripada yang lain.
Film ini sarat akan nilai sufistik yang melahirkan banyak hikmah. Pancaran spiritual hadir dalam setiap sesi, tetapi dikemas dalam bentuk yang universal sehingga tidak begitu menonjolkan simbol Islam.
Alur ceritanya kurang lebih dimulai ketika Mada (pemerannya adalah Abimana) sebagai lakon utama mengalami guncangan batin yang sangat dahsyat. Ia gagal menikah di hari yang telah ditunggu-tunggu. Penghulu sudah siap menikahkan, wali sudah duduk tenang, para undangan tamu pun sudah siap menyaksian. Namun tiba-tiba tanpa sepengetahuan orang-orang, calon pengantin wanita kabur tanpa ada yang tahu kemana ia pergi.
Sebagai manusia normal yang sangat mencintai calon istrinya, Mada mengalami kesedihan luar biasa. Kasus Mada ini, secara psikologis jauh lebih mengguncang batin ketimbang hanya sekadar putus bagi orang yang berpacaran.
Mada yang awalnya sebagai sosok yang taat beragama kemudian mengalami pergolakan batin. Ia marah pada Tuhan. Kenapa ketaatannya selama puluhan tahun justru dibalas oleh Tuhan dengan balasan yang sangat menyakitkan?
Sejak kejadian itu, Mada membenci Tuhan. Ia menganggap Tuhan tidak adil. Ia lari dari kenyataan bahwa di atas rencana manusia ada sang Maha Perencana yang mengatur segala garis hidup manusia.
Baca Juga : Biyung Polah Anak Kepradah
Singkat cerita, Mada kemudian minggat dari Indonesia. Ia melancong ke Thailand dengan hidup yang tak jelas arah. Hari-harinya diisi dengan mabuk-mabukan. Di Bangkok, Mada malah membunuh salah satu pemimpin preman. Gara-gara itu, ia menjadi buronan di negara tersebut, lalu kabur ke Vietnam.
Hanya berbekal tas ransel dan sedikit uang, ia tidak tahu akan ke mana lagi dan mau apa di Vietnam. Sialnya, Mada malah kecopetan. Infeksi perut akibat ditusuk oleh preman saat di Thailand menambah kesengsaraan hidupnya selama di negara sosialis itu. Di sana, ia bekerja serabutan agar tetap bisa makan untuk bertahan hidup.
Suatu malam, karena saking lelahnya bekerja dan menahan luka di perut, Mada tidur di dalam kardus yang ada di emperan pasar. Ia tidak tahu bahwa kardus tersebut akan dibawa ke Cina.
Saat memasuki wilayah Cina, kardus yang berisi dirinya itu jatuh ke pinggiran ladang. Lantas ditemukan penduduk desa setempat dan dibawa ke seorang Tabib untuk disembuhkan luka di perutnya yang semakin parah. Kebetulan, sang Tabib tersebut merupakan tokoh agama Islam di desa itu. Di sana, ia dirawat hingga sembuh. Mada kemudian diberi Kitab Al Hikam.
Setelah sembuh, Mada pergi ke kota untuk membantu berdagang. Namun di kota itu tidak bertahan lama karena ia kerap mendapatkan mimpi buruk saat tidur. Untungnya, Mada mendapatkan teman baru yang belajar ilmu tawasuf. Dia kemudian merekomendasikan Mada untuk pergi ke India menemui guru sufinya.
Di sana, Mada banyak berdiskusi dengan sang guru sufi. Selama berguru, ia kembali tersirami sinar-sinar Illahiyah. Mada mulai sadar bahwa ia hanyalah manusia biasa yang wajib menuruti apa yang sudah digariskan oleh Tuhan.
Mada mulai menerima kenyataan bahwa perempuan yang pernah akan dinikahinya itu bukanlah jodoh yang disiapkan Tuhan untuknya. Mada juga akhirnya menyadari bahwa selama ini ia lah yang memaksa Tuhan untuk menuruti kemauannya, bukan ia yang menuruti kemauan Tuhan. Setelah dari India, ia melewati beberapa negara dengan beragam cerita, yang pada akhirnya bisa melaksanakan haji di Arab Saudi.
Di dalam film ini, seolah-olah cerita dikemas dengan banyak kejadian ‘kebetulan’, padahal jika kita mau berpikir, semua hal yang ada di dunia ini sudah tertulis di lauh mahfudz. Mada tak mempunyai kekuatan apapun untuk mengatur kehendak Tuhan. Dia hanya diberi akal untuk berpikir bahwa mana batasan yang bisa dilakukan manusia dan mana yang menjadi wilayah kewenangan Tuhan.