Catatan terjadinya eksogami sebagian besar bukan berdasarkan catatan sejarah historis berupa kronik tetapi dari karya sejarah sastrawi seperti Serat Kanda, BTJ (Babad Tanah Jawa), Sadjarah Banten, Babad Demak Pesisiran dan Hikayat Banjar.
Sumber sastra Jawa-Islam dari lingkungan kraton seperti BTJ (Babad Tanah Jawa) di antaranya karya Pangeran Kadilangun berbentuk tembang Macapat maupun BTJ karya Tjarik Bratja yang disusun pada era Kartasura meriwayatkan ringkasnya bahwa Raja Majapahit terakhir bergelar Brawijaya atau Raden Alit menikahi Putri Cempa/Jeumpa bernama Darwati atau Anjarwati.
Perlu diperhatikan bahwa BTJ mengaitkan hubungan perkawinan eksogami antara Brawijaya dan Putri Cempa/Jeumpa didasari oleh hubungan pernikahan di masa lampau antara Jayasimhawarman yang merupakan penguasa Champapura di Vijayapura dengan Putri Tapasi yang merupakan adik Prabhu Krtanegara dari Singhosari.
Hubungan pernikahan tersebut menjadi pengetahuan kolektif di kalangan raja-raja Majapahit dan Champa hingga muncul dalam berbagai kesusastraan Champa yang terkadang mencampur antara sebutan Jawa (Jawaka) baik untuk menyebut suku bangsa Melayu di Semenanjung Malaya dan Swarnadwipa maupun suku Jawa di Jawadwipa.
Baca Juga : Ratu Adil, Satria Piningit dan Zaman Kalasuba
Sementara dalam Hikayat Banjar disebut bahwa Dipati Angrok yang merupakan raja Majapahit menikahi seorang Putri Pasai dan bukan Champa/Jeumpa.
Putri Pasai tersebut menjadi permaisuri yang berkuasa penuh sehingga seperti disebutkan dalam BTJ, ia mengundang keponakannya bernama Raden Rahmat untuk datang ke Majapahit. Dipati Angrok lalu memberikan sebidang tanah kepada Raden Rahmat dan dikembangkan menjadi padepokan pengajaran dan penyebaran agama Islam di Pulau Jawa yang kelak dikenal sebagai Ampel Denta dan ia pun dikenal sebagai Susuhunan Ampel.
Kisah yang hampir mirip tersebut seakan-akan mengilustrasikan hubungan pernikahan eksogami berbeda agama antara Raja Majaphit dan Putri Champa. Sebab itu diperlukan metode kritik historis dark kalangan revisionis seperti Theodore Noldekè, Joseph Schacht dan Juynboll untuk menilai historisitas kisah eksogami.
Namun, apabila dicermati bahwa sumber-sumber yang menjadi pijakan tersebut sebagaimana disebut di awal bukanlah sumber sejarah faktuil tetapi merupakan karya sastra yang sarat interpretasi dan inferensi penulis atas sumber tradisi oral yang lebih tua dan kerap ditujukan untuk legitimasi kekuasaan aristokratik.
Pada konteks ini dengan menggunakan pendekatan kritik historis dan analisis Semiotika dapat diduga bahwa kisah pernikahan eksogami merupakan upaya legitimasi kekuasaan kesultanan Islam terutama Demak dan Pajang dengan melalui hubungan genealogis dengan Majapahit.
Hal serupa juga dilakukan oleh Sutawijaya atau Panembahan Senopati di samping tetap menggunakan simbol patronase atau Yidam Boddhisatva Arya-Tara seperti disebut oleh Roy E. Jordaan.
Hubungan perkawinan yang diriwayatkan antara Raja Majapahit dan Putri Champa, dapat dikatakan sejauh pertimbangan yang telah disebutkan tidak benar-benar terjadi sebagai fakta sejarah riil, tetapi pada batas tertentu dimana Pasai berperan dalam mengirimkan para penyebar Islam ke Majapahit terutama wilayah pesisir seperti Tuban, Gresik, Sedayu, dan Surabaya dapat diduga berpengaruh kuat.
Sejak era Wikramawardhana, seorang mubaligh dari Kushan bernama Maulana Malik Ibrahim tiba di Pulau Jawa sekitar akhir abad ke-14 M. atau hampir menjelang terjadinya Perang Pareg-reg antara Wikramawardhana sebagai penguasa Kraton Wilwatikta Kulon menghadapi Wirabhumi sebagai penguasa Wilwatikta Wetan.
Lambat laun seiring ketegangan di dalam pemerintahan Majapahit, kendali terhadap wilayah pesisir Utara Pulau Jawa melemah sehingga banyak mubaligh dari Pasai dan Malaka yang tiba dan membangun pusat penyebaran Islam.
Lambat laun sebagian pusat pengajaran Islam seperti Ampel Denta dan Giri Kedaton di bawah peran Pasai berkembang menjadi kekuatan Politis.
Untuk melegitimasi kekuasaan spritual dan pengaruh politis dimana para pendakwah tersebut mendapat julukan sebagai Susuhunan (Sunan) dari masyarakat sekitar maka dibangunlah hikayat (wiracarita) bahwa para pendakwah tersebut seperti Sunan Ampel dan Sunan Giri memiliki hubungan kekerabatan dengan lingkungan aristokratik Majapahit di antaranya melalui kisah pernikahan antara Raja Majapahit dan Putri Cempa/Jeumpa atau terkadang Pasai yang sebenarnya merujuk pada peristiwa yang terjadi jauh di masa lampau.
Hal ini tampak dari upaya mengaitkan kekerabatan antara Sunan Ampel sebagai keponakan Putri Darwati (Anjarwati) yang dipersunting oleh Raja Majapahit ataupun Sunan Giri yang bernama ‘Ainul Yaqīn yang semula dalam Hikayat Banjar disebut sebagai putra dari pernikahan Raja Majapahit dan Putri Cempa/Jeumpa tapi belakangan malah dalam BTJ dikaitkan dengan Blambangan melalui Putri Sekardadu yang merupakan anak Menak Sembuyu yang barangkali berkaitan dengan upaya meraih penerimaan dan dukungan penduduk di wilayah Timur Pulau Jawa.
Hubungan kekerabatan antara Cempa/Jeumpa dan Majapahit secara tidak langsung dicatat dalam Hikayat Raja-raja Pasai yang didasarkan pada naskah koleksi Raffles. Hikayat Raja-raja Pasai menyebut pernikahan yang hampir terjadi antara Pangeran Zainal Abidin dan Putri Gemerincing putri Ratu Majapahit (Prabhu Hayam Wuruk) yang bermimpi bertemu dengan pangeran dari Pasai tersebut. Pernikahan tersebut dihalangi oleh Sulthan Ahmad hingga menyebabkan Majapahit menuntut balas dengan menyerang Pasai menjelang tahun 1365 M.
Kedatangan para pengungsi dari Vijayapura sekitar permulaan abad ke-14 M. akibat kekalahan Ché Bo-Nga dari bangsa Dai-Viet yang memilih berpindah ke wilayah Blang Blahdeh di kabupaten Bireun saat ini dan mendirikan kesultanan di atas bukit yang menghadap ke laut juga turut membawa ingatan kolektif hubungan pernikahan antara Majapahit dan Champa saat berkedudukan di Vijayapura di masa lampau.
Ingatan atau kisah di masa lampau tersebut diolah kembali menjadi kisah pernikahan antara Putri Cempa dan Raja Majapahit agar masyarakat dapat menerima eksistensi spritual maupun pengaruh politis para pendakwah tersebut dengan berkurangnya resistensi rakyat Majapahit terhadap Islam
Selain itu dalam tata negara Majapahit dan Pajajaran, seorang raja (Bhatara/Ratu) diikat oleh Dharmasaśtra atau Agamas yaitu di Majapahit dengan Kuntara-Manaḍarmasastra dan di Pajajaran dengan Sanghyang Siksakandang Keresian yang di antaranya terdapat larangan pernikahan eksogami atau dalam pengertian lain seorang raja yang oleh para penulis Arab disebut sebagai Chakravarthin bahkan tidak diperkenankan menikahi perempuan dari trah hang berbeda dengan lingkungan aristokrat terlebih dari kalangan Mlecchas tanpa berpindah agama.
Apabila raja melanggar ketentuan ini, maka raja dapat dilengserkan oleh keputusan Dharmadhyaksa ring ke-Siwaan lan Kasogatan. Sebab itu melihat konstruksi institusi norma Dharmasastra yang berlaku saat itu sangat mustahil bahwa terjadi pernikahan eksogami antara raja Majapahit (Angga Wijaya, Bhrawijaya atau Dipati Angrok) dengan Putri Cempa/Jeumpa Darwati/Anjarwati.
Hubungan pernikahan eksogami antara perempuan muslimah dengan pria non-Muslim termasuk penguasa juga disepakati keharamannya. Hal ini dapat dibaca dalam kitab-kitab fiqih terawal dari alam Melayu seperti Mir’atuth Thullāb karya ‘Abdurrauf as-Sinkilī, Safīnatul Hukkām karya Jalāluddīn al-Faqīh dan Sabīlul Muhtadīn karya Syaikh Arsyad al-Banjarī.
Bahkan Lontar Kropak Ferrara dan Suluk Sunan Bonang seperti disebutkan dengan tegas dan keras melarang hubungan interaksi apapun termasuk di dalamnya pernikahan dengan kalangan yang tidak beragama Islam. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa dugaan pernikahan eksogami antara Raja Majapahit dan Putri Cempa/Jeumpa bukanlah sejarah faktuil dan merupakan kisah yang dibuat-buat berdasarkan pengetahuan yang tidak lagi jelas hubungan pernikahan antara Majapahit dan Champa di masa lampau untuk tujuan legitimasi spritual dan pengaruh politis pendakwah di Pulau Jawa.
Baca Juga : SUNAN AMPEL Relasi Kuasa Raja Majapahit dan Penyebaran Islam di Tanah Jawa
Ketika masyarakat yang belum ter-Islamisasi sempurna dimana pranata hukum-hukum Syariat dengan peran ulama sebagai otoritas penafsir yurisprudensi hukum-hukum Islam belum terbentuk dalam konteks ini dapat disebut terjadi pada masyarakat Jawa wilayah pedalaman Selatan.
Hal ini berbeda dengan wilayah Pesisir Utara Pulau Jawa dimana hukum-hukum Syariat Islam telah tegak dan juga telah ada peran para ulama sebagai faqīh yang menerangkan hukum-hukum Syariat sehingga pernikahan eksogai tidak terjadi. Hal ini bisa dibuktikan dengan narasi dalam Kropak Ferrara dan Suluk Sunan Bonaŋ yang melarang umat Islam menjalin hubungan bermuamalah termasuk pernikahan dengan non-Muslim.
Pada kasus minoritas Muslim pada era dinasti T’ang hingga Yuan, dapat disebutkan bahwa orang-orang Tashi (Tajik) yang merepresentasikan etnis Muslim dari Asia Tengah pada awalnya merupakan pendatang yang bermukim di antaranya di Xi’an dan Guangzhou sebagai komunitas tersendiri, hal ini ada disinggung oleh Liang Liji yang terpisah dari suku bangsa Hān.
Percampuran suku bangsa baru terjadi ketika era dinasti Yuan dimana sejumlah pasukan Khanathan Mongol terdiri atas Muslim beretnis Persia dan Turki lalu dinikahi oleh penduduk lokal dari Suku Hān dan menurunkan suku bangsa Huī. Itupun harus dilihat bahwa saat itu belum ada institusi hukum Islam dari fuqahā Hanafī-Maturidī di kalangan suku Hui yang lebih akukturatif dengan budaya suku Han berbeda dengan Muslim Uighyur yang hingga saat ini menolak asimilisasi termasuk melalui perkawinan eksogami dengan suku Han.