KH. Hamid Dimyathie Termas (?-1948) Kiai Pejuang NKRI

TABARRUKAN 2 ABAD PONDOK TERMAS (3)

KH. Hamid Dimyathie adalah pengasuh Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, salah seorang aktifis pergerakan nasional, Kepala Penghulu Kabupaten Pacitan, dan pernah menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) di tahun 1945 pasca Proklamasi Kemerdekaan hingga wafatnya di tahun 1948.

Selain mengurus dan membesarkan pondok pesantren, Kiai Hamid juga ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan bangsa – di era penjajahan Belanda maupun di masa pendudukan tentara Jepang.

Meski saat itu pesantren dan masyarakat sekitarmengalami kesusahan, bahkan banyak santri, terutama di masa Jepang, pulang ke kampung masing-masing, namun pesantren tetap punya komitmen untuk membela bangsa dan negara ini.

Di masa pendudukan Jepang, beliau menjadi anggota Shu Sangi Kai atau Dewan Pertimbangan Daerahdi Madiun, serta menjadi anggota Badan Penasihat Gerakan Pencak Silat seluruh Jawa dan Madura.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Kiai Hamid Dimyathi menjadi Kepala Penghulu Pacitan dan terpilih sebagai anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), semacam lembaga DPR sekarang.

Baca Juga : KH. Abdul Mannan Dipomenggolo (?-1862) Muassis Termas

Beliau juga aktif dalam Partai Masyumi, yang kala itu merupakan satu-satunya partai umat Islam. Kiai Hamid juga akrab dengan para pejuang kemerdekaan NKRI seperti Bung Tomo.

Pernah suatu kali beliau diajak oleh komandan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) itu ke Surabaya dalam rangka mengobarkan semangat perjuangan para ulama dan kiaimenjelang pertempuran 10 November 1945. Tapi Kiai Hamid tidak bisa menerima ajakan tersebut. Beliau lebih berkonsentrasi membentengi daerah Pacitan dari ancaman penjajah asing. Karena posisinya berada di pesisir selatan Pulau Jawa, Pacitan ini rentan untuk diserbu oleh pasukan sekutu dan pasukan NICA-Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia.

Sebagai Kepala Penghulu,anggota KNIP, dan pimpinan partai Masyumi di Pacitan dan sekitarnya, beliau tidak kenal lelah berjuang menumbuhkan semangat dan kepercayaan masyarakat untuk berkorban membela agama, nusa dan bangsa. Sementara untuk mendukung saudara-saudara sebangsa di Surabaya, beliau menyuruh Mursyid (kakak iparnya) untuk berangkat menggantikan dirinya.

Dalam konteks perjuangan di masa revolusi kemerdekaan itu, Kiai Hamid terus menggalang mobilisasi dan juga koordinasi, khususnya dengan Yogyakarta yang waktu itu menjadi ibukota Republik Indonesia yang kedua setelah Jakarta dikuasai tentara Belanda.

Koordinasi ini terutama diperlukan untuk keperluan permintaan tambahan kekuatan pengamanan serta untuk pengiriman laporan tentang situasi terkini. Apalagi dalam situasi menghadapi pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948, Pacitan betul-betul berada dalam situasi gawat. Tidak terkecuali Pesantren Tremas. Hampir semua santri Tremas dipulangkan ke tempat asalnya masing-masing – untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Maklum, waktu itu orang-orang FDR/PKI gencar mencari kalangan ulama dan santri sebagai targetnya.

Baca Juga : KH. Ahmad Dahlan Termas atau Tremas (1862-1911):

Untuk menghadapi situasi sulit itu, bersama empat belas anggota pasukan pengawalnya, Kiai Hamid berangkat menuju Yogyakarta dalam keadaan menyamar. Namun, ketika tiba di daerah Pracimantoro, beliau bersama pengiringnya ditangkap gerombolan FDR/PKI yang memang sudah menguasai daerah itu.

Mereka ditahan di Baturetno, lalu dieksekusi mati di Tirtomoyo. Ketiga daerah ini berada di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Hanya seorang pengawalnya yang berhasil lolos dari peristiwa itu. Kiai Hamid dikubur bersama ketigabelas anggotanya itu dalam satu lubang.

Menurut kesaksian Soimun, anggota pasukannya yang lolos itu, beberapa bulan setelah Peristiwa Madiun, ada upaya penggalian terhadap kuburan para syuhada pembela agama dan bangsa itu. Setelah digali, ditemukan ada 13 jenazah (dari jumlah 14 orang yang terbunuh) yang sudah mulai rusak sehingga tidak dapat dikenali lagi – termasuk yang manakah gerangan jenazah almaghfur-lah Kiai Hamid Dimyathi.

Akhirnya semuanya dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, Jurug, Surakarta, dan dimakamkan tanpa satu identitaspun di atas pusara mereka.
Allah yarhamhu…
lahul Fatihah…

Exit mobile version