Beberapa hari lalu saya dihubungi oleh Saudara superadmin untuk mengisi rubrik “tasawuf dan filsafat” pada web blog luar kotak ini. Saya agak ragu awalnya, menerima tantangan dari seorang superadmin luarkotak, untuk membahas “tema-tema langit” semacam itu.
Pertama: keraguan bahwa apakah saya pun sudah memahami tema-tema langit tersebut; dan kedua: bagaimana bisa menyajikan tema langit itu dalam bahasa sederhana, yang dapat dipahami oleh orang yang paling bodoh sekalipun. Baiklah, mari kita sampahkan saja pertimbangan-pertimbangan semacam itu. Saya tidak peduli apakah tulisan saya ini bisa dipahami atau sebaliknya, tugas saya hanya menulis.
Pendahuluan sudah cukup, sekarang masuk pembahasan.
Saya anggap kalian sudah paham mengenai konsep dasar tasawuf, setidaknya kalian telah mendengar atau membaca istilah aneh-aneh dalam dunia tasawuf. Kalau belum, tanyakan mbah gugel, termasuk bila belum tahu apakah itu tasawuf, tanyakan mbah gugel. Simpel.
Istilah aneh-aneh seperti: syari’at, thoriqot, hakikat, dan makrifat, merupakan konsepsi paling mendasar dalam dunia tasawuf. Istilah-istilah itu sering diucapkan dalam berbagai versi dialek dan saya lebih suka menyebutnya dalam dialek Jawa: sarengat, tarekat, hakekat dan makrifat. Mengapa begitu? Karena saya menginginkan kalian membaca bait-bait “Serat Dharmagandhul”. Menurut beliaunya pengarang Dharmagandhul, begini:
“Tegese nama sarengat// yen sare njengat kang perji// tarekat taren mring garwa// hakekate sami hapti// den hakken aben wadi// kedah rujuk estri jalu// makripat ngertos wikan// sarak-sarak laki rabi.”
Kira-kira begini maksudnya: Yang dimaksud sarengat// ketika tidur penis ereksi// tarekat: meminta ke isteri// hakekat: selesai bersama// memahami setiap rahasia// pria wanita harus rukun// makrifat: memahami// syarat-syarat suami isteri.
Baca Juga : Catatan 100 Tahun ITB (3 Juli 1920-2020)
Sudah-sudah, saya tidak akan membahas versi yen sare njengat kang perji, ini cukup sebagai kutipan saja dan cukup dimaknai bahwa pemahaman seperti ini, ada.
Kita masuk yang lebih serius mengenai istilah sarengat, tarekat, hakekat dan makrifat tadi.
Pertama: Sarengat
Kita tentu mengenal istilah syari’at dalam khazanah keilmuan Islam, yang kaitannya dengan ilmu fiqh. Syari’at itu hukum-hukum Islam, pemahaman ini benar, tapi khusus dalam konteks fiqh. Kalau Syari’ah itu nama salah satu fakultas di IAIN Purwokerto. Sementara dalam konteks tasawuf, pemahaman istilah syari’at telah bergeser, syariat itu semua hal yang berbau pemahaman kognisi, seperti teori-teori gitu lah. Hukum-hukum Islam itu sifatnya teori, bisa ditulis, disampaikan lewat ceramah dan dipahami via akal (kognisi).
Bisa dimengerti kan? Namanya juga konsep dasar, pasti njlimet, membutuhkan intelegensi ekstra untuk mencerapnya. Sama halnya menyelam, untuk menemukan dasarnya Waduk Penjalin, pun harus memiliki kemampuan menyelam ekstra.
Kedua: Tarekat
Tarekat (thoriqoh) itu merupakan suatu komunitas, isinya orang-orang yang sedang berusaha mendalami jalan Tuhan secara lebih ekstra. Metode ekstra itulah yang disebut thoriqoh. Semua orang, terutama yang beragama, pasti mereka sedang menjalani jalan Tuhan, tapi mereka menjalaninya dengan cara yang biasa-biasa saja. Bedanya cuma di sini, pengikut thoriqoh lebih ekstra dari pada yang bukan pengikut thoriqoh. Apakah para pengikut thoriqoh itu lebih benar dari pada yang bukan? Belum tentu.
Stop, yang itu jangan dilanjutkan.
Itu tadi pengertian tarekat secara umum, yang banyak dipahami oleh kita. Sementara dalam konsep dasarnya tasawuf, pengertian “tarekat” itu bukan komunitas apalagi institusi yang dipimpin oleh seorang mursyid. Sederhana sekali, pengertian istilah tarekat: menjalankan, just doing not else.
Kalian yang dulu pernah belajar teori-teori sholat, sekarang menjalankannya. Itu tarekat.
Kalian yang pernah belajar membuat kopi, sekarang praktek. Itu tarekat.
Ketika kalian berbusa-busa membahas citarasa Sam Soe, itu sarengat, tetapi ketika ‘cus, sedooot, buel’, inilah tarekat.
It’s simple, just doing.
Baca Juga : Apa yang Mau Kita Sombongkan?
Ketiga: Hakekat
Sama halnya syari’ah dan tarekat, istilah hakikat (hakekat/kakekat) pun merupakan istilah populer. Banyak orang sudah fasih mengucapkannya, tapi apakah mereka paham dengan yang diucapkan? Saya ndak tahu. Dalam filsafat juga kita menemukan istilah itu: hakikat, namun makna “istilah hakikat” dalam filsafat selalu identik dengan: intisari, substansi, esensi dan makna terdalam sesuatu hal. Misalnya: hakikat hukum Islam, berarti maksudnya: intisari, substansi, esensi atau makna terdalam dari hukum Islam. Hakikat kopi berarti: intisari, substansi, esensi atau makna terdalamnya kopi. Ya Cuma gitu-gitu saja kok.
Namun dalam tasawuf, istilah hakikat, beda jauh maknanya. Jadi jangan kebolak-balik, apalagi bingung membedakannya. Hakekat dalam tasawuf adalah pengalaman, khususnya pengalaman batiniah. Hakekat (pengalaman) itu tidak bisa ditulis, yang bisa ditulis namanya teori tentang pengalaman. Hakekat (pengalaman) juga tidak bisa disampaikan lewat ceramah, yang disampaikan hanya cerita pengalaman. Hakekat hanya bisa dialami dan dirasakan, pun yang merasakan belum tentu paham dengan yang sedang dialaminya. Seperti mimpi ketika tidur, bisa dialami tapi belum tentu mengerti maksudnya. Sekarang, apakah hakikat itu mimpi? Bukan. Lalu apakah mimpi itu hakikat? Iya. Pengalaman mimpi kita pun bagian dari hakekat, tapi tidak selamanya hakikat itu mimpi, banyak juga yang mengalaminya secara sadar (terjaga).
Apakah pengalaman isra mi’raj Nabi Muhammad saw, itu mimpi atau sadar?
Keempat: Makrifat.
Aduh, jam pira sih siki? Jam 00.32, turu lah!