Novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) merupakan karya Ahmad Tohari yang berlatar di Banyumas, Jawa Tengah. Novel ini sebenarnya trilogi yang kemudian dijadikan satu dalam judul Ronggeng Dukuh Paruk. Triloginya yaitu, Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Meskipun waktu yang diambil adalah masa Orde Lama hingga peralihannya ke Orde Baru, novel ini mampu bertahan dan tidak kehilangan emasnya sampai detik ini.
Ahmad Tohari mampu merangkai dan merawat kata sedemikian rupa sehingga karya fenomenalnya ini bahkan bisa tersampaikan hingga luar negeri. Ditulis selama bertahun-tahun, novel ini pantas mendapat berbagai penghargaan baik nasional maupun internasional. Bayaran yang setimpal mengingat perjuangan Ahmad Tohari menulis dengan begitu tekun dan apiknya.
Ahmad Tohari kerap dipanggil Kiai oleh sebagian masyarakat karena beliau berasal dari keluarga terpandang secara keagamaan. Status beliau sebagai anak Kiai sempat menuai kritik ketika beliau menulis tentang Ronggeng. Hal ini dikarenakan Ronggeng bukan hanya sekadar memuat tarian erotis, melainkan juga bertindak sebagai pelacur. Aturan Ronggeng mengharuskan Si Penari ini harus digauli dahulu baru kemudian sah menjadi seorang Ronggeng.
Prosesi ini tentu melanggar moral atau syariat agama. Hal inilah yang kemudian membuat Tohari dikritik oleh sebagian masyarakat. Tohari pernah mengklarifikasi hal tersebut dengan argumen bahwa novel RDP, sebetulnya memuat nilai keislaman yang tinggi bagi mereka yang membaca dan kemudian merenungkannya. Beliau juga mengatakan pondasi dari RDP itu justru berasal dari ayat-ayat Al Quran, yaitu “Minadz dzulumaati ilan nuur” yang artinya dari dari kegelapan ke arah yang terang-benderang.
Ada kesadaran etik religius ketika Rasus, salah seorang tokoh utama dalam RDP yang kemudian menjadi ahli ibadah dan merenungkan kehidupan dengan segi tasawuf. Padahal dulunya Rasus menjadi remaja Abangan (kepercayaan mistik Kejawen) dan jauh dari etik religius. Secara tidak langsung Ahmad Tohari berdakwah dengan jalan sastra dan budaya. Hal ini kemudian diperkuat dengan bingkisan Ronggeng dalam karyanya.
Pemilihan Ronggeng sebagai tokoh utama dalam novel ini berdasar pada ayat Al Quran “Lahu maa fis samawaati wa maa fiil ardh” yang artinya, “Milik Allah-lah semua apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”. Ronggeng adalah salah satu bagian dari “apa yang ada di bumi”, sehingga Ronggeng juga merupakan kepunyaan Allah.
Maka kita sebagai manusia, wajib memanusiakan juga seorang Ronggeng dan tidak boleh hanya memandang sebelah mata. Jadi, RDP merupakan salah satu manifestasi dari ayat-ayat Al Quran.
Baca Juga : Dalil-dalil Ronggeng Dukuh Paruk
Selain dari ayat-ayat Al Quran, Tohari juga mengambil dasar dari Hadis Qudsi: Pada hari Kiamat Allah menegur seseorang, “Wahai anak Adam. Saat Aku sakit, kenapa kau tidak menjenguk-Ku?” Orang itu menjawab, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku mendoakan-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan sekalian alam?”.
Allah menjawab, “Tidakkah kau tahu bahwa hamba-Ku si fulan itu sakit. Namun kau tidak menjenguk-Ku. Tahukah kau, kalau kau menjenguknya, kau akan mendapati Aku di sisinya”. Tohari sering menanyakan “Di manakah alamat Allah itu?” kepada tamu-tamunya yang kemudian dijawabnya sendiri dengan Hadis Qudsi di atas.
Dalam RDP, manifestasi hadis di atas yaitu ketika Tohari menyajikan peristiwa kemanusiaan tahun 1965-1966 di Indonesia yang dikenal sebagai pembantaian kaum Komunis, simpatisan, dan orang yang dituduh sebagai seorang Komunis. Banyak dari mereka justru tidak melakukan dosa seperti apa yang dituduhkan oleh para pembunuhnya.
Termasuk sekelompok kesenian Ronggeng, mereka sebenarnya orang-orang yang tidak paham sama sekali soal politik akan tetapi karena keterlibatan mereka dalam suatu kampanye akbar Komunis di Banyumas, maka mereka ikut dipersekusi oleh milisi dan militer Indonesia. Kejahatan kemanusiaan seperti ini, oleh sebagian pelakunya justru dianggap sebagai tindakan heroik dan sudah sesuai dengan jalur keislaman.
Padahal sebaliknya, ada kemungkinan hasrat dendam yang kemudian disalurkan dengan cara-cara keji. Di kemudian hari, peristiwa tersebut dianggap sebagai peristiwa genosida di Indonesia.
Salah satu bentuk menjenguk orang-orang yang sakit, yaitu dengan cara ikut menyuarakan kaum tertindas yang tersakiti oleh kebiadaban-kebiadaban manusia kala 1965-1966 tesebut. Tohari kemudian menyampaikan hal ini kepada seluruh pembacannya baik di ranah nasional maupun internasional agar mereka juga ikut menjenguk orang-orang sakit di atas. Dengan demikian, maka kita akan menemukan di mana alamat Tuhan berada.
“Bulan berkalang bianglala di atas sana kuanggap sebagai sasmita bagi diriku sendiri, untuk mengambil wilayah kecil yang terkalang sebagai sasaran mencari makna hidup. Dukuh Paruk harus kubantu menemukan dirinya kembali, lalu kuajak mencari keselarasan di hadapan Sang Wujud yang serba tanpa batas.”
Penulis : Saeful Huda
*Sumber yang dipakai penulis adalah wawancara langsung dengan Ahmad Tohari secara berkala dalam rentang 3 bulan terakhir tahun 2021.