Sandyakala

Senjakala. Sebuah kata mengambarkan banyak benda. Matahari pulang ke peraduan dengan iringan warna magenta. Langit pucat berganti muram, seperti senja di musim keenam. Tapi ini musim keduabelas, katamu menyanggah. Sanggahanmu seperti ingin mencegah agar matahari kembali bersinar seperti pagi tadi. Tapi tidak bisa. Tunggu besok. Aku akan kembali, kata matahari.

Kini giliran senjakala menyapa. Warna menyala menjelang surup surya. Seolah berpamitan kepada yang inginkan hari tak cepat pergi. Padahal hari telah berganti, jubah malam mulai ia kenakan sandyakala ini. Kenapa semakin tak ada warna? Tanyamu pada senja.

Senjakala hanya membisu namun geraknya niscaya. Sebagai pengantar malam ia mulai perlihatkan jerihnya. Menutup hari dengan petang. Kemudian berlahan menjadi remang. Kemudian berlahan menjadi bayang dan gelap sama sekali. Tak ada warna. Padahal hitam pun sebenarnya warna.

Sandyakala. Seperti para pujangga mengabadikan kisah tragedi Majapahit. Berakhirnya kerajaan nusantara yang tak lain oleh anak rajanya. Atas nama kebenaran, atas nama agama atau atas nama tahta kah? ah yang pasti sandyakala menjadi penanda yang dipilih para pencerita, pengkhotbah dan para pendeta. Tempat dimana malaikat bersayap berganti tugas, sementara iblis berembug merencanakan skenario godaan untuk manusia pendosa.

Senjakala menjadi penanda usainya darah keturunan Barata tumpah di Kurusetra. Penanda kemenangan yang juga menyisakan kekalahan. Bagaimana tidak? Sandyakala menjadi tempat remang sang ibu meratapi mayat anak cucunya kalah perang.

Sandyakala menjadi jeda kemarahan dan keangkara murkaan. Jeda kekalahan Kurawa dan jeda kemenangan Sena mereguk darah Dursasana.

Baca Juga : Manifestasi Quran dan Hadis dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk

Sandyakala. Juga sebagai penanda ketika putri malam mulai menapaki menuju cakrawala. Saat itulah pantangan bagi anak perawan Jawa duduk di depan gerbang kediamannya. Dilamar wurung katanya. Tak etis, anak gadis duduk manis di depan jeda waktu itu. Entah kenapa? Bisa jadi itu hanya kiasan belaka. Tapi itu pesan leluhur. Pantang membantah. Atau anak cucu akan kena kutuknya.

Ah.. Sandyakala. Ketika semua warna perlahan sirna menjadi satu warna hitam. Sebelum putri malam meremangkan atau menerangkannya.

Sandyakala. Tempat para rahib pendeta merentang doa. Memasang pancang untuk tolak bala dan prahara dunia. Dupa kemenyan, kemban tujuh rupa, janur kuning dipasangkan di empat penjuru rumah. Sebagai penanda, pepeling untuk manusia terhadap alam keserakahan dunia. Puja mantra dipanjatkan dalam altar persemedian. Lengkung asap, kepulan putih dupa penanda doa tersampaikan kehadiratNya. Toh, mereka percaya.

Sandyakala. Menjadi jeda yang jujur. Waktu yang tepat untuk binatang malam bersiap untuk bekerja. Mengeluarkan suara di balik jubah hitam malam, ketika sang purnama datang.

Sandyakala menjadi jeda segala semesta. Diam sejenak untuk merenung, berdoa, atau merencanakan ikhtiar usaha.

Senjakala. Berpikir apakah esok matahari akan kembali terjaga, ataukah tetap terus menjadi senja selamanya. Dan harapan harus ditutup rapat untuk segala-galanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *