Lelaki Pemanah Kijang Emas

Di tengah terik matari yang menyengat ubun-ubun itulah, Arjuna berlari menerobos semak belukar. Lembah dan bukit dilewati seperti tanpa kenal lelah. Keringat itu mengucur membuat kulit kuning itu mengkilat. Sementara ujung jarit lancingan dan ikat kepalanya bergerak dipermainkan angin.

Yang dihiraukan hanya pemandangan lincah kijang emas yang sedari tadi menggodanya. Baginya kijang emas itu adalah tiada duanya seperti ketika ia melihat sosok perempuan molek yang barusan dikenalnya. Sebelum ia bisa ditaklukkan, pantang baginya untuk mundur. Karena mundur dari arena adalah pantangan bagi pria yang disebut lelanangin jagat ini.

“Bedanya kalau perempuan itu tak harus dikejar. Tetapi biarlah mereka mengejarku. Namun untuk kijang, maka aku harus sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Karena bagi seorang pemanah, kijang adalah tantangan terhebat selain harus menaklukan angin saat kita memanah,” demikian ceramah Arjuna kepada kakaknya Werkudara suatu saat.

Maka siang itupun, meski sendirian Arjuna terus mengejar kijang emas itu. Meski kecil sang kijang itu lincah menggunakan empat kakinya yang panjang untuk melompat. Rerumputan, semak belukar hingga lubang jurangpun dilompatinya dengan gampang.

Yang membuat Arjuna semakin geram adalah ketika sang kijang dengan enaknya memakan pupus tunas pohon yang dilompatinya tersebut. Pemandangan itu berulangkali terjadi. Maka berulangkali pula Arjuna menjadi geram. Kegeramannya itu seperti kekecewaanya yang tak bisa memuaskan hasrat perempuan yang telah ditaklukannya di atas ranjang.

Begitulah siang itu. Terus menerus Arjuna kehilangan jejak sang kijang emas. Maka ia semakin tak menyerah dan terus pula ia menemukan jejak sang kijang dan mengejarnya lagi. Sampai kemudian ia menemukan sang kijang yang terdiam yang terdiam di tepi jurang yang menganga lebar. Dan saat itulah adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Sebagaimana kesempatan menggunakan mata indahnya untuk meluluhkan hati perempuan yang diincarnya.

Maka dengan cepat, ia merentang busur beserta anak panah yang berujung runcing dan tajam itu. Matanya membidik serupa elang membidik anak ayam dari atas langit. Sesekali sang kijang emas itu menengok kanan kiri sambil menggerakan kaki mungil panjangnya. Kaki kijang itu digerakan bergantian seolah seperti akan membuang debu yang menempel di telapak kakinya.

Tap tap tap tap tap….

Demikianlah lesatan lima anak panah itu berhasil menimbulkan pekik sang kijang emas yang berjarak 20 tombak dari mata Arjuna.Bagaikan bangun dari mimpi tengah malam, ia terkejut. Ia menyadari kalau ia masih dalam posisi siap memanah. Anak panahnyapun masih terpasang di busur dan tangan kanannya masih menariknya. Tanpa melepaskannya.

Lalu siapa yang telah memanah kijang emas incaranku itu dengan tepat. Pikir Arjuna sambil melangkah mendekati kijang emas tersebut. Dari dekat ia melihat tepat sekali lima anak panah itu menembus dan memutus kerongkongan sang kijang emas itu. Pasti tak sembarang orang yang bisa memanah ini. Namun siapa orang itu? Bukankah selama ini hanya ia pemanah terhebat di jagat raya ini. Tak ada saudara 100 kurawa yang mampu menandingi kemampuan panahnya. Selain itu siapa lagi? Arjuna. Seorang yang pandai menggunakan berbagai jenis senjata dan paling lihai dalam menggunakan panah.

Pertanyaan yang berkecamuk itupun terhenti ketika telinga tajamnya mendengar langkah lari orang menginjak semak di sekitarnya. Dari arah suara itulah, pandangnya diedarkan dan ia melihat sosok berbadan tegap, hidung lancip dan rambut panjang yang berkibar. Namun nafasnya tetap teratur seakan tidak ada kelelahan bagi seorang yang telah lari dengan tanda mandi keringat di badan.

“Siapa kisanak. Kisanakah yang memanah kijang ini?” tanya Arjuna spontan.

Lelaki tegap itu hanya mengangguk sambil sibuk mencabut lima anak panah yang bersarang di leher kijang emas. Erangan dan pekikan kijang emas masih terdengar. Air matanya meleleh sambil memandang lelaki tegap yang berhasil mencabut lima anak panah itu. Setelah itu, kijang emas itu meregang dan matanya mengatup. Mati.

“Sadarkah kisanak telah merebut buruanku di hutan ini?” tanya Arjuna sekali lagi. Namun lelaki bertubuh tegap dengan baju dengan lembaran kulit macan kumbang itu tetap diam sambil mengikat kaki-kaki kijang yang baru saja mati tersebut.

“Hei kisanak, apakah engkau tuli?” Arjuna makin tak sabar.

“Dengar kisanak yang berwajah tampan. Di rimba ini, siapa yang cepat ialah yang dapat. Ialah yang menang, kelambananmu itulah yang membuat buruanmu hilang dan bisa terpanah oleh panahku,” tandas lelaki hitam itu sambil mengangkat kijang emas itu ke punggungnya dengan satu tangan. Setelah itu ia melenggang pergi.

“Hei, kisanak. Tunggu. Siapa kamu?” tanya Arjuna lagi setengah berlari mengikuti lelaki itu.

“Aku Ekalaya, Murid Durna. Kalau kau ingin bertemu aku lagi. Maka datanglah ke telaga dari bukit itu,” jelas Ekalaya tanpa mempedulikan Arjuna yang tercekat dengan jawabannya.

####

Aku Ekalaya, Murid Durna

Begitulah perkataan sang pemanah yang baru saja ditemui di hutan itu membuat Arjuna dirundung pertanyaan. Pernyataan orang yang baru saja dikenalnya itu sungguh telah mematahkan pengetahuan dan kebenaran yang telah diyakininya bertahun-tahun. Kehebatan orang itu telah membuatnya ragu akan kemampuan memanahnya yang dianggap sebagai terhebat di berbagai penjuru arena.

Kebenaran tentang kejujuran Maha Guru Durna

Kebenaran tentang Durna sebagai guru sejati trah Bharata

Kebenaran tentang Pandawa dan Kurawa sebagai murid-murid eksklusif Resi Durna

Kebenaran tentang Arjuna sebagai pemanah terhebat di dunia

Pemanah yang tiada tandingan yang membuat banyak pasang mata wanita terpesona hingga hatinya takluk padanya

Aku Ekalaya, Murid Durna.

Yah, nama yang baru saja didengar dan disandingkan dengan nama yang telah menjadi panutan baginya. Bagi saudara-saudaranya yang lain. Apakah benar sang guru mempunyai murid lain selain 100 kurawa dan lima saudara Pandawa? Lalu jika benar, Durna mempunyai murid lain di luar, bagaimana Durna memberikan waktu pelajar untuk orang yang mengakui muridnya tersebut. Bukankah Resi Durna selalu berdiam dan mengajari dengan disiplin dan tertib ia bersama saudara-saudaranya yang lain di Padepokan Sokalima? Tak mungkin Durna mempunyai murid lain selaina Pandawa-Kurawa.

Aku Ekalaya, Murid Durna

Arjuna kembali mengingat cerita dari sang kakek Begawan Abiyasa yang telah menjadi saksi Durna mengucap sumpah hanya akan menjadi guru bagi trah Bharata. Ia dengan jelas trah Bharata yang tersisa sekarang adalah Pandawa dan Kurawa. Selain itu tidak ada lagi. Maka jelaslah sudah, orang itu bukanlah dari trah Bharata. Orang yang tak jelas nasab keturunannya. Orang yang bukan berasal dari ‘trahing kusuma rembesing madu’. Apalagi dari pakaiannya jelas berasal dari wilayah tak beradab. Tubuhnya hanya tertutup kulit binatang.

Aku Ekalaya, Murid Durna

Dari sekian banyak pertanyaan antara kebenaran dan kejujuran itulah, hanya satu pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan berbagai kemungkinan. Pertanyaan itu adalah tentang apakah ia masih merupakan pemanah terhebat dan sejati di dunia ini? Bukankah, sikap dan kehebatan pemanah yang baru saja dikenal dengan nama Ekalaya itu benar-benar lebih hebat darinya. Lalu apa yang bisa terbantahkan dari kebenaran itu. Bukankah benar-benar dan sebenar-benarnya kalau orang yang mengaku bernama Ekalaya itu sungguh-sungguh hebat dari dirinya. Itulah kenyataan, kebenaran yang tak bisa terbantah dengan berbagai kemungkinan. Karena kebenaran itu adalah kenyataan yang tak terbantah dan tak bisa memunculkan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Apalagi sebagai orang yang sudah lama terjun di dunai perburuan hingga perpanahan, Arjuna paham betul kemampuan orang-orang pemanah lainnya. Namun kenapa pula orang itu baru muncul dan mengaku sebagai murid Durna?

####

Di bawah langit yang dinaungi bintang yang berkerdipan itulah, Guru Durna berdiri di halaman Padepokan Sokalima. Ia memejamkan mata sambil merasakan desau angin malam yang menerobos dan menggugurkan ribuan dedaunan sanakeling di sekitar padepokan itu. Baju putih khas seorang resi itupun berkibaran dipermainkan angin.

Tak lama kemudian terdengar bunyi geretak pintu kayu padepokan dibuka. Sesosok pria dengan tubuh tegap dengan proporsi tubuh yang pas itu berjalan gontai menuju ke arahnya. Sosok Arjuna yang datang kemudian disambutnya dengan santai. Durna kemudian duduk di batu besar dengan permukaan rata, sementara Arjuna duduk di bawahnya sambil merasakan debu tebal tanah di musim kemarau itu.

Beberapa lama mereka terdiam kemudian percakapan dimulai dengan sembah sungkem murid kepada guru. Dengan kewaskitaannya Durnapun langsung menyambut murid kesayangannya tersebut. “Ada apa Arjuna, apa yang kau risaukan,” tanya dengan mata tajam.

Sambil tertunduk, kemudian Arjuna bercerita tentang semuanya. Tentang kepalanya yang dibuat bingung oleh sosok yang bernama Ekalaya dan mengaku sebagai murid gurunya. Namun yang membuatnya pening adalah kenyataan di mana kehebatannya sebagai pemanah di segala arena terpatahkan oleh matinya kijang emas dengan hujaman lima panah sederhana yang menghujam di lehernya.

Ia menceritakan semua dan semua. Namun selama menceritakan yang terdengar di kepalanya seperti suara dengung lebah yang tak berkesudahan adalah kata Aku Ekalaya, Murid Durna. Setelah itu yang terlihat adalah lelehan air mata kijang emas buruannya yang mati dengan lima anak panah yang bersarang di leher. Lima bidikan yang tepat dalam satu titik. Tanpa salah sasaran. Tanpa meleset sedikitpun. Titis.

#####

Maka menjelang senja yang berwarna jingga yang terpantul di permukaan air telaga di balik bukit atas petunjuk Ekalaya, Arjuna dan Durna datang. Mereka saling berpandangan usai sampai di tubir telaga yang kemilau berwarna senja tak berkesudahan. Tak ada kata yang guru dan murid itu ucapkan.

Ternyata jauh dari padepokan Sokalima yang dilanda kemarau, masih ada saja alam yang memukau. Alam yang selalu diselimuti kehijauan, rimbun pohon dan berlimpah air dengan jingga senja yang memancar. Pantas saja, kijang emas dan berbagai hewan lain betah hidup di sini.

Semilir angin menyusup ke tengkuk leher Arjuna dan Durna. Rambut panjang merekapun berulangkali dipermainkan sang bayu. Senja dengan semilir angin dan kilau jingga di permukaan telaga itu begitu menyempurnakan kesunyian, kecuali hanya suara kumpulan katak yang bersiap membentuk paduan suara di malam hari.

“Kau tahu Arjuna, katakpun memaksa katak-katak lain untuk kompak menyuarakan lagu bunyi dari tenggorokan mereka. Ketika salah satu katak salah mengeluarkan bunyi dari rongga tenggorokan mereka, mereka akan dibantai oleh katak lain. Karena paduan suara katak hanya akan bagus ketika terjadi kesamaan nada, lagu baik saat permulaan hingga penghabisan,” jelas Durna membuka percakapan.

“Saya paham Guru,” ujar Arjuna menatap kemilau air dan riak-riak permukaan telaga tempat katak-katak mulai mencari tempat mereka untuk menyanyikan paduan suara sebelum melangsungkan upacara kawin mereka.

Arjuna begitu paham apa kata pesan yang tersirat dari sang guru tersebut. Betapa murid haruslah patuh kepada guru. Guru mempunyai ‘idu geni’, air ludah api, di mana apa yang dikatakannya adalah keramat dan mustajab. Maka benar atau salah adalah urusan nanti kalau sudah menyangkut ucapan dan perintah guru.

Langgam alam di kala senja yang sudah dimulai dari suara binatang malam di sekitar telaga itu seakan terhenti setelah terdengar ada langkah seseorang datang. Ya, benar. Dalam bayangan senja yang mulai meremang, seorang yang bertelanjang dada dengan memanggul gendewa besar datang menghampiri Arjuna dan Durna.

Seorang berbadan tegap berkulit gelap mengkilat itu datang dari arah utara bukit. Ia datang dari jalan yang membelah semak belukar yang menutup perbukitan tersebut. Ia benar-benar datang sendiri tanpa ditemani siapapun.

“Wahai guru Durna dan kau Arjuna, terima kasih kalian telah datang. Kuucapkan selamat senja jingga untuk kalian yang sudi datang ke tempat ini,” katanya membuka percakapan bagi dua orang yang sedari tadi lebih dilanda kebisuan.

Dalam benaknya, Durna langsung menelisik sosok yang ada di depannya dengan jarak dua tombak itu. Sosok pemuda tegap dengan sorot mata mengkilat dan rambut panjang yang terburai tanpa ikatan kepala. Durna teringat bahwa pemuda inilah yang telah membuat gentar Arjuna dengan kelihaiannya memanah.

“Wahai kisanak, benarkah kau yang benar-benar memanah tepat kijang yang menjadi incaran Arjuna? Sejak kapan kau belajar memanah dan siapa gurumu sebenarnya,” kata Durna menyelidik.

Mendengar pertanyaan Durna, Ekalaya hanya terdiam. Ingatannya kembali melayang ketika suatu kali ia bertemu dengan sosok Durna yang selalu diimpikannya menjadi guru. Namun ternyata cita-citanya itu harus kandas karena sikap Durna yang menolak mentah-mentah dirinya menjadi muridnya. Dan sejak itulah ia pulang dengan langkah gontai tanpa harapan.

“Aku Ekalaya murid Durna. Sejak pertemuan itulah telah aku anggap restumu itu menjadi penanda engkau menjadi guruku. Meski pada kenyataannya kau tak pernah mengajariku memanah. Apalagi keguruanmu hanya berlaku bagi saudara Bharata saja,” jelas Ekalaya sambil memandang jingga senja yang terpantul dalam permukaan telaga.

Mendengar itu, Arjuna dan Durna saling berpandangan. Arjuna hanya mengangguk ketika Durna memandangnya. Sebuah isyarat telah ia tangkap dari sang guru yang setiap hari berinteraksi dengannya.

“Baiklah. Jika kau benar-benar hendak menjadi muridku. Apa bukti baktimu yang tertinggi yang bisa kau berikan kepadaku sebagai seorang guru,” kata Durna.

Mendengar itu, Ekalaya terdiam sejenak. Dalam pikirannya bagaimanapun seorang resi harus rela melanggar sumpahnya sebagai guru Bharata dengan tiba-tiba. Apa kata dunia ketika mendengar hal tersebut. Bahkan apa kata dewa-dewa yang memberkati semesta.

“Aku memang sangat menginginkan engkau menjadi guruku wahai Resi. Bahkan sejak pertama kali kita bertemu dan bagaimana aku harus bersujud untuk bisa menjadi muridmu,” kata Ekalaya.

Setelah itu Ekalaya terdiam, ia kemudian berjalan ke sisi selatan telaga di mana terdapat sebuah hamparan luas di sana. Arjuna dan Durna langsung melangkah mengikuti pemuda itu. Tanpa di sangka tak jauh dari situ terlihat sosok siluet tak bergerak yang menampakan jelas sosok Durna.

“Itu adalah engkau wahai Resi. Aku sengaja buat arca itu menyerupaimu. Dengan jenggot putih, hidung mancung dan kelebat kain putihmu. Bersamanyalah aku dalam waktu berpuluh-puluh purnama, siang dan malam belajar memanah hingga menjadi seperti sekarang ini,” kata Ekalaya.

“Baiklah. Jika kau benar-benar hendak menjadi muridku. Apa bukti baktimu yang tertinggi yang bisa kau berikan kepadaku sebagai seorang guru,” kata Durna mengulangi kalimat serupa sebelumnya.

“Tidak, aku tidak akan mengemis-emis lagi kepadamu. Apalagi jika aku harus memohon menjadi muridmu. Aku sudah cukup menjadi murid bagi diriku sendiri. Toh, apa bedanya engkau dan patungmu saat ini. Ia hanya bisa diam dan diam saja, ketika kusembah dan kumohon,” kata Ekalaya tegas.

Dan sejak saat itulah, kisah Durna yang memotong ibu jari Ekalaya yang akan memberikan darmabaktinya kepada Durna sebagaimana diceritakan para dalang tak berlaku lagi. Dan sejak saat itulah, kisah Arjuna sebagai pemanah utama tak tersiar lagi.

“Aku Ekalaya dan murid Durna selama-lamanya,” jelas Ekalaya dan dengan cepat melesatkan anak panah menuju arca Durna. Durna hanya terkesiap diam, memandang betapa kebesarannya sebagai seorang mahaguru telah dibunuh hanya oleh seorang pemanah yang bukan siapa-siapa.

Sementara Arjuna hanya bisa terpana dan semakin hancur luruh. Keperkasaannya, kelihaiannya sebagai pemanah jagat raya telah tanggal oleh Ekalaya yang menganggap Durna sebagai guru imajinernya. Usai arca Durna itu roboh terpanah, Ekalaya berlalu meninggalkan Durna dan Arjuna yang mematung.

“Akulah Ekalaya, Murid Durna,” begitulah empat kata itu terngiang-ngiang terus seperti dengung lebah di telinga Arjuna. Semakin ditutup telinga maka semakin keras terdengar sulit terhindarkan.

Kilau jingga senja yang terpantul di permukaan telaga itu kian menghilang. Perlahan jingga senja itu tergantikan hitam yang membuat kilat-kilat air menjadi keperakan sebelum kemudian menjadi hitam pekat dan tak terlihat. Begitulah daulat alam, tak ada satupun makhluk yang bisa merubahnya meskipun telah merencanakan dengan matang.

Purwokerto, 28 Mei 2017

Exit mobile version