Pagi tadi, seperti halnya orang lain, penulis mengikuti upacara peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Selama upacara, penulis berpikir, “Apa yang membawa orang banyak pergi ke tanah lapang terdekat untuk merayakan peringatan kemerdekaan?” Jika jawabannya adalah iming-iming keuntungan material, tampaknya hal tersebut kurang tepat. Di pelbagai daerah, warga rela iuran untuk memeriahkan acara tahunan tersebut. Mereka merelakan berhenti bekerja sehari demi untuk menghormati hari yang dianggap sakral ini. Penulis tertegun kala terbersit ‘nasionalisme’ sebagai alasannya.
Ada Indonesia, Coy!
Warga Indonesia terhitung tinggi rasa nasionalismenya. Di kalangan warganet, tentu tidak asing dengan meme dengan slogan “Ada Indonesia, coy!” dan model berupa seorang berkepala plontos yang sedang menghadap gawai. Meme ini menggambarkan betapa hebohnya banyak orang Indonesia ketika apapun yang berhubungan dengan negaranya disebut atau ditampilan oleh akun media sosial mancanegara.
Nasionalisme juga membuncah ketika tim nasional olahraga Indonesia, apalagi jika tim sepakbola, bertanding. Di mana-mana orang mengadakan nonton bareng. Jika pertandingan dilaksanakan di Indonesia, kita akan berbondong-bondong menonton meski tiket yang harus dibayar terhitung mahal. Saat memikirkan semua ini, penulis merasa bangga bukan main,bahkan hampir meneteskan airmata haru.
Ditampar Mahmoud Darwish
Tak berlangsung lama, penulis tersenyum kecut ketika teringat kutipan dari penyair Arab, Mahmoud Darwish, “Nasionalisme milik kaum papa, sedangkan nation (negara) milik kaum kaya.” Awalnya penulis sedikit tersinggung dengan kutipan ini. Namun, setelah direnungkan lebih dalam, penulis hanya bisa terhenyak dan berkata, “setuju.”
Kita ambil contoh adalah sumber emas di Papua. Penulis pribadi dan banyak teman penulis bangga dengan Indonesia yang punya sumber emas besar di Timur Indonesia sana. Penulis menganggap rasa bangga ini sebagai nasionalisme. Tapi, jika ditilik lebih lanjut, yang menikmati ‘kebanggaan’ ini adalah pemilik perusahaan tambang, pemilik modal jika meminjam istilah para ekonom. Penulis dan banyak warga Indonesia tentu tidak mendapat keuntungan langsung dari adanya sumber emas tersebut. Di sini perkataan Mahmoud Darwish mendapatkan konteksnya.
Nasionalisme yang dimanfaatkan
Sayangnya, nasionalisme bangsa kita kerap kali dimanfaatkan pihak-pihak yang dipandang otoritatif dalam mengembangkan pengertiannya. Kita dijejali kutipan-kutipan yang membuat kita menjadi nasionalis yang ‘hampir buta,’ seperti: “Jangan tanyakan apa yang negara berikan pada kita, tetapi tanyakan apa yang telah kita berikan pada negara!” (Cicero); “NKRI Harga Mati” (K.H. Moeslim Rifa’i); “Cinta tanah air sebagian dari iman” (Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari).
Baca Juga : Mistifikasi Sosial Kyai dan Habib, Tinjauan Sosiologis
Penulis tidak menyalahkan kutipan-kutipan tersebut karena mereka relevan dengan konteks masing-masing. Yang perlu digarisbawahi adalah pemakainnya yang sering salah kaprah dan overdosis. Bahkan, di beberapa keadaan, kutipan-kutipan tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang merasa ‘si paling otoritatif.’
Contoh paling gampang adalah melihat bagaimana politikus bekerja, mereka memanfaatkan simbol-simbol nasionalisme yang ada untuk mengeruk sebesar-besarnya suara di pemilihan. Mereka seringkali bak orang yang membutuhkan listrik untuk menyalakan pendingin air dari pembangkit listrik. Yang berbeda, mereka membutuhkan keterpilihan dalam pemilihan dari semangat nasionalisme masyarakat.
Ketika nasionalisme masyarakat berkobar karena kampanye mereka yang mengadopsi simbol-simbol nasionalisme itu dan kemudian mereka telah memberikan suara pada politikus tersebut, politikus mendapatkan kekuasaan untuk mengontrol kebijakan negara, yang tidak bisa dipungkiri, menguntungkan golongan sendiri. Di sini, masyarakat hanya mendapat gairah nasionalisme, tetapi tidak mendapat (kendali dari) nasion (atau negara) itu sendiri.
Lebih parah
Lebih ambyarnya, nasionalisme kadang bukan hanya dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi saja, tetapi juga untuk ‘memukul’ rival si pengembang definisi nasionalisme. Contohnya, “Jika kalian meyakini ideologi ini maka kalian akan menjadi pengkhianat negara;” “Jika kalian melakukan kritik kepada kami, kalian tidak punya nasionalisme;” dan ungkapan-ungkapan sarat kepentingan lain.
Artinya nasionalisme diartikan begitu sempit, tunggal, dan pengertian yang begitu eksklusif dan tendensius. Di luar definisi yang ditetapkan, berarti pemahaman itu salah dan halal dihakimi.
Derita cinta
“Dari dulu, begitulah cinta: deritanya tiada akhir.” Kutipan tokoh Cu Pat Kai pada serial Kera Sakti ini tepat menggambarkan nasionalisme varian toksiks. Ibaratnya, seorang pria mencintai gadis yang merupakan anak dari seorang bapak. Karena tahu anaknya dicintai, bapak itu begitu semena-mena dalam menindas dan memeras pria tersebut karena ia merasa bahwa cinta si pria begitu dalam dan bapak tersebut punya kuasa penuh atas anak gadisnya.
“Benar kumencintaimu, tapi tak begini,” Kurang lebih begitu ungkapan pria yang akhirnya sadar bahwa cintanya pada seorang gadis dimanfaatkan oleh pihak yang merasa berwenang memiliki apa yang ia cintai seenak pusarnya.
Pada kasus ini, cinta diganti sebagai nasionalisme, gadis diganti menjadi negara, dan si bapak diganti menjadi pihak yang paling merasa paling berhak dalam mendifinisikan nasionalisme.
Berpikir cerdas
Bagaimana cara kita agar tidak terjebak pada nasionalisme dengan versi yang dibelokkan? Penulis mengutip (dengan perubahan) isi bio akun media sosial seorang penyair yang kurang lebih berarti “Nasionalisme itu mencintai tanah air, bukan mencintai pihak yang mengklaim paling punya tanah air.” Artinya, kita bisa mencintai negara kita sedalam-dalamnya. Namun, rasa ini hendaklah diikuti dengan rasa kritis pada pihak yang punya mandat atas tanah air-kita. Apakah mencintai yang punya mandat ini adalah suatu kewajiban dan mengkritisinya berarti mencederai nasionalisme kita? Jawabannya “Tidak.”
Cipedak, 17 Agustus 2023