Esai  

Warga NU dan Kelas Sosial

SEORANG buruh pabrik sepatu menghasilkan ratusan pasang sepatu yang bernilai puluhan juta rupiah dalam satu bulan. Alih-alih dibayar dengan puluhan juta tersebut, si buruh hanya dibayar 3 juta rupiah per bulan. Begitulah metode ekonomi kapitalis bekerja.

Hal itu menimbulkan ilusi seolah hubungan antara kapitalis dengan buruh pekerja itu adil. Yaitu saat kapital membeli tenaga buruh dan buruh menjual tenaganya di pasar. Padahal ada proses penindasan struktural di balik kesukarelaan orang-orang yang menjual tenaganya di pasar.

Pasca peristiwa G-30 S, tahun 1965 silam, pembredelan dan pembantaian massal segala bentuk ajaran yang berangkat dari Marxisme digalakkan habis-habisan. Komunisme adalah ideologi “haram” bagi negeri ini.

Segala sesuatu pemikiran yang diambil dari dalamnya, juga diharamkan, minimal dimakruhkan. Termasuk teori Marx tentang analisis kelas sosial. Praktis kita kehilangan analisis kelas setelah peristiwa itu.

Pada saat yang bersamaan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berkembang dan berkelindan dengan perspektif post-modernisme yang banyak merayakan perbedaan hanya pada level permukaan belaka.

Post-modern seringkali hanya menganggap bahwa kelas sosial itu multi tafsir sehingga kesimpulannya bisa beda-beda dan tidak valid. Perspektif post-modernisme seperti menolak hal-hal esensial seperti analisis kelas.

Karena kebangunan LSM dan Organisasi masyarakat bertumbuh dengan perspektif post-modernisme tersebut, maka dengan sendirinya gerak langkah dan alam pikir LSM maupun ormas yang ada kerapkali tidak mengetahui di kelas sosial yang mana mereka berada.

Sebenarnya isu kelas sosial ini bukannya tidak ada sama sekali, justru berbagai survei yang dilakukan oleh lembaga survei baik milik pemerintah maupun swasta bisa menyimpulkan adanya peningkatan jumlah kelas menengah ke atas di Indonesia.

Ini artinya angka kelas menengah ke bawah sudah banyak berkurang. Hal ini tidak mengherankan, karena pandangan masyarakat umum mengenai kelas sosial ini banyak yang berpijak pada analisis kelas ala Weberian yang menggambarkan tingkat kesempatan hidup diukur dari tingkat pendapatan.

Sesorang dengan tingkat pendapatan tinggi, akan memiliki kesempatan yang tinggi pula dalam berbagai bidang. Misalnya dalam bidang kesehatan, dan pendidikan. Si A mempunyai pendapatan lebih banyak ketimbang si B, maka si A mempunyai akses kesehatan dan pendidikan lebih baik ketimbang si B.

Baca Juga : Muludan Lagi Muludan Terus

Dalam konteks si A dan si B ini, bisa dikatakan bahwa si A memiliki kelas sosial yang lebih tinggi ketimbang si B. Dari analisis demikianlah lalu muncul kelas sosial atas, kelas bawah, kelas menengah, dan seterusnya.

Dari analisis kelas ala Weberian itu, setiap peneliti bisa saja mempunyai jumlah kelas yang berbeda dengan rentang pendapatan yang berbeda pula. Sehingga pembagian kelas ala Weberian itu menghasilkan jumlah kelas yang relatif tidak terbatas.

Nah, kalau jumlah kelasnya cenderung tidak terbatas, lalu apa gunanya analisis kelas ?

Analisis kelas ala Marx memiliki sudut pandang yang berbeda dari analisis Weber. Bagi Marx, kelas sosial ini hanya digambarkan dalam posisi seseorang masuk kategori mengeksploitasi atau dieksploitasi. Meskipun ada kemungkinan kelas ketiga yaitu produksi komoditas kecil yang rentan dibawa ke arah yang mengeksploitasi atau ke arah yang dieksploitasi.

Nah, melalui analisis kelas ala Marx ini, kira-kira warga NU yang puluhan juta itu, dalam konteks ekonomi, sosial dan politik, masuk kategori yang dieksploitasi atau yang mengeksploitasi atau bahkan kelas sosial yang ketiga ?

Hemat saya analisis kelas sosial ala Marx ini krusial untuk dilakukan dalam konteks NU, mengingat program kemandirian warga Nahdliyin yang menjadi fokus pencapaian program NU ke depan. Wallahu a’lam. (*)

Exit mobile version